Bus yang kutumpangi saat ini sepi dari penumpang. Hanya ada aku, sopir dan kernet bus yang terus memanggil-manggil para penumpang dengan suara cemprengnya di terminal ini. Aku yang duduk di paling pojok belakang kursi sangat jelas terdengar suara kernet itu sampai memekakan telingaku. Dan itu membuatku jengkel dibuatnya oleh suaranya itu.
“Bang, suaranya jangan keras-keras dong! Sudah begitu dekat banget lagi ke kuping saya. Kuping saya jadi budek tahu, Bang!” seruku memberitahukannya dengan nada tinggi.
“Ma-maaf, Mas!” serunya singkat tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.
Akhirnya kernet itu pun beralih-pindah tempat untuk memanggil para penumpang bus kembali. Kali ini suara cemprengnya bergema kembali di terminal yang sangat menyengat dari bau pesing dan anyir.
Aku kembali duduk tenang di paling pojok belakang kursi penumpang dekat kaca.
Bus yang kutumpangi saat ini masih sedang menunggu penumpang kembali. Maklum bus yang kunaiki ini masih sepi penumpang. Jadi tidak langsung melaju menuju tujuan.
Kulihat kernet bus itu masih memanggil-manggil para penumpang.
Bus kunaiki saat ini adalah bus yang tua keberadaannya di ibukota. Jika dirunut kapan waktu transportasi umum itu beroperasi mungkin sudah tua dibandingkan dengan usiaku saat ini. Anehnya, walaupun bus itu sudah tua keberadaannya selalu saja dinanti para penumpang, khususnya bagi kalangan bawah yang sangat membutuhkan termasuk aku salah satunya.
Duduk di paling pojok belakang kursi penumpang dan dekat kaca lama-lama aku dihantui rasa jenuh yang mulai meraja. Apalagi sore ini awan terlihat mendung mulai berarak perlahan-lahan menutupi matahari. Apakah akan turun hujan hari ini? Entahlah.
Tapi rasa jenuh yang kurasai tidak berlangsung lama. Perlahan-lahan bus mulai dipenuhi penumpang. Baik dari karyawan kantor, pekerja, mahasiswa, umum sampai pelajar tumplek menjadi satu. Sudah memenuhi bus yang kunaiki ini.
Akhirnya ekor mataku tertuju pada para penumpang yang menaiki bus. Kulihat mereka satu-persatu. Walaupun mataku masih melirik dari balik kaca. Melihat-lihat kondisi ibukota bila senja sudah mulai membujurkan selimut malamnya.
Tidak lama kemudian bus pun penuh dengan para penumpang. Kulirik salah satu penumpang seorang ibu muda yang tengah hamil berdiri sambil memegang penyangga bus sekuat mungkin. Lalu mataku kemudian beralih pada sosok anak pelajar yang duduk sambil tangannya “berzikir” di atas screen android dengan kuping disumpal oleh earphone. Lengkap sudah ia dianggap sebagai generasi bangsa yang buta rasa kemanusiaannya.
Di mana rasa kemanusiaan anak pelajar itu? Ada ibu muda hamil berdiri di hadapannya tak terbersit empati pun dalam hatinya itu? Tiba-tiba rasa amarahku tersulut ketika melihat pemandangan itu.
Bila aku menegurnya. Tapi buat apa? Nanti aku dibilang sok moralis dan dikira menjadi pahlawan kesiangan. Tiba-tiba rasa itu menurun seketika. Biar sajalah, lebih baik kulihat dari kejauhan yang masih di tempatku.
Kulihat lagi anak pelajar itu. Sampai-sampai aku ingin mengetahuinya dibatas mana rasa kemanusiaan anak itu terpatri sebagai anak pelajar. Belum habis pemandangan yang memiriskan itu berlalu. Aku beralih melihat pemandangan yang lebih mengharukan. Sepasang suami-istri lansia tuna netra menaiki bus ini.
Oh, ternyata mereka bukan penumpang tetapi sepasang pengamen. Tampak terlihat dari radio yang digantung di tubuh ringkih laki-lakinya. Lalu si perempuannya menyanyikan tembang tempo doeloe yang begitu lirih sekaligus menyayat hati. Tembang Gereja Tua dari band legendaris Panbers terus saja mengalun dari radio gantung itu. Walaupun aku hidup bukan di masanya tapi aku menikmatinya dalam lirik-lirik lirih itu. Aku masih anak kemarin sore bila mau dikatakan.
Usai sepasang pengamen lansia menyanyikan tembang itu. Lebih tepatnya lipsing. Mereka mulai mengibakan tangannya dengan kantong bekas permen. Mereka meminta beberapa uang receh sebagai membayar suara yang dikeluarkan ke arah muka penumpang. Walaupun suara yang dikeluarkan itu sumbang dan tidak berirama.
Lagi-lagi hanya beberapa orang yang menenggelamkan receh ke wadah itu. Walaupun mereka tidak tahu berapa yang diberikan oleh para penumpang. Tapi kurasa mereka mengetahuinya dengan batin dan indera perasa setiap mereka menyumbangkan suara itu. Terpenting bagi mereka sebuah keikhlasan saat memberinya bukan dari rasa belas kasihan.
Tidak lama malam pun menyapa. Warna jingga senja tidak lagi tampak. Kini berganti gemintang berkelap-kelip di langit gelap. Bulan separuh mulai terlihat. Kukira malam ini akan turun hujan? Ternyata tidak!
Usai ibu muda yang sedang hamil itu sudah dapat kursi penumpang dan sepasang pengamen lansia tuna netra dari itu turun dari bus. Aku kembali dikejutkan oleh penumpang seorang wanita bergincu tebal, memakai hotpant, dan tank top dengan belahan buah dada yang mungkin sengaja ditonjolkan agar mata-mata lelaki langsung mengarah padanya. Ia naik dari halte tepi jalan yang di belakangnya dipadati rumah-rumah kumuh.
Aku sedikit sesak nafas begitu juga yang ada dalam celanaku. Ikut sesak pula. Sampai-sampai aku tidak bisa membayangkan jika nanti ada pria hidung belang yang jahil menggodanya. Apakah yang harus disalahkan pria itu? Lagi-lagi aku hanya mengelus dada.
Bus akhirnya melaju kembali menerobos keheningan malam. Terlebih suasana jalan tidak lagi menyemut. Tidak seperti tadi. Sebab, malam sudah larut. Bus yang kutumpangi ini belum sampai menuju tujuanku. Kembali pulang ke rumah.
Aku masih duduk di kursi yang aku tempati. Aku tidak bergeser sedikit pun. Karena aku ingin menikmati ibukota di malam hari dari balik kaca bus ini serta angin malam yang berkesiur menerpa wajahku.
Namun apa yang kulakukan di balik kaca bus itu tidak lama. Karena apa? Aku terganggu oleh kehadiran dua penumpang yang menghentikan bus ini. Tepat pada rambu-rambu lalu lintas berwarna merah menyala.
Kulihat gelagat mereka tampak ada suatu keganjilan. Itu terlihat dari balik punggung mereka terselip senjata api dan senjata tajam yang menyembul. Mau apa mereka itu? Aku bertanya-tanya dan juga penuh kekhawatiran.
Aku melirik ke arah mereka. Tapi mereka tidak sempat membalas aku melirik ke arah mereka. Kini mataku mengarah ke para penumpang bus.
Saat ini bus yang aku tumpangi masih tersisa diriku, wanita bergincu tebal, seorang pekerja dan sepasang muda-mudi yang duduk berdampingan saling memadu kasih. Cuih, apa mereka tidak merasa curiga dengan dua penumpang yang tadi menaiki bus ini? Mereka malah asyik berpegang tangan lalu berpagut bibir.
Aku kembali dibuat kekhawatiran meraja. Terlebih kulihat wanita yang memakai hotpant itu sedang menebalkan bibirnya kembali, sambil bercermin di kaca kecil perona wajah yang dikeluarkan dari tas kecilnya, tanpa memedulikan penumpang itu. Aku masih mengamati dua penumpang itu.
Singkat kata, apa yang kukhawatirkan berbilang bukti. Kini di hadapanku dan di muka para penumpang bus ini saling berpandangan ke arah wanita yang berpakaian mencolok mata itu. Suasana penuh mencekam. Wanita itu akhirnya di bekap di hadapan para penumpang bus.
Wanita itu disandera layaknya film-film heroik yang nanti diselamatkan oleh sang jagoan nantinya. Tapi ini adegan nyata! Bukan adegan film yang penuh dengan rekayasa. Aku melihatnya dengan jelas. Di dalam bus ini!
Lagi-lagi aku sangat jelas melihatnya. Ternyata bus ini dibajak oleh dua penumpang itu. Wanita itu tidak berdaya lagi. Ia ingin menjerit? Tapi mulutnya dibekap oleh tangan kekar mereka. Hanya matanya saja yang melarak-lirik ke arah para penumpang bus. Entah, apakah ia juga melirikku atau tidak. Aku sangat begitu merasa iba sekali dengan wanita itu.
Saat itu para penumpang bus tak ada perlawanan. Tidak melawan. Hanya bisa menyaksikan wanita dengan pakaian belahan dada yang mencuat keluar itu dibekap dan ditodong senjata api ke arah pelipisnya.
“Jangan ada yang bergerak! Atau, wanita jalang ini mati sia-sia.”
Mereka mengacam. Tapi setelah itu…
Dooorrr….!!
Terdengar letusan senjata api. Semua para penumpang bus berteriak histeris. Sopir langsung menghentikan bus. Sang kernet terkejut. Terpelanting ke tepi jalan karena secara tiba-tiba sopir itu mengerem mendadak kencang sekali usai mendengar bunyi letusan.
Dua penumpang yang sejak tadi sudah aku curigai itu kabur. Meninggalkan bus yang aku tumpangi setelah mereka membabibuta menembuskan peluru panasnya itu pada pelipis wanita bergincu tebal. Hingga tembus ke dalam tempurung otaknya. Seketika itu aku dan para penumpang lainnya langsung mendekatinya. Masing-masing ingin membantu begitu juga aku untuk membawa dirinya ke rumah sakit.
Tapi setiap manusia yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Sebelum wanita itu menghembuskan nafas terakhir tangannya meraih leher kemejaku saat aku akan membawanya ke rumah sakit. Ia seperti menolak untuk dibawa ke sana.
Masih berlumur darah segar di tangannya ia kembali menarikku. Kali ini lengan kemejaku yang ditariknya. Lalu mulutnya yang kini hampir pucat tidak semerah menggoda sebelum sakratul maut datang. Wanita itu membisikkan sesuatu ke telingaku.
Dengan terbata-bata keluarlah ucapan dari mulut wanita itu. Dengan penuh keharuan mendalam aku pun mencoba mendengarkannya.
“Di rumahku ada dua anak yatim-piatu. Mohon jaga dan rawat mereka baik-baik!”
Saat itu malam makin muram. Ibukota langsung membisu. Malam makin mengigil. Halnya wanita bergincu tebal itu yang usai berucap di telingaku. Hingga bus yang kutumpangi tiba-tiba kurasakan melaju tanpa ujung. Tanpa henti melaju. Tak tahu arah entah kemana membawa aku pulang…[]
Jkt, sepulang pelatihan RELI, 02042016
Cerpen: Kak Ian, bekerja sebagai pengajar Jurnalistik tingkat sekolah dan bergiat di komunitas RELI (Relawan Literasi) Jakata. Sekarang berdomisili di Jakarta.