“Jadi benar, bebek-bebek mereka mati karena cekikan tangan?”
“Benar. Konon ada bekasnya, hitam.”
“Tangan siapa?”
“Entah. Hari ini Pak Bau memanggil ahli investigasi dari Pusat Kepolisian.”
“Baguslah, mari ke sana sebelum bubar.”
Dua warga yang bercakap, mengangkat diri dari sawah. Matahari belum di tengah-tengah kepala, namun kasus yang marak pekan ini di Kampung Linsang mengontrol pikiran para warga untuk lekas berbondong menyaksikan bebek-bebek yang mati secara ganjil.
Dari informasi yang ditangkap, rencananya bebek-bebek itu hendak dialokasikan sebagai bagian dari program kelompok tani. Namun, toh, sebagai kelompok tani, bisa dikatakan mandul. Setiap anggota hendak bergagas-gagas semua. Masing-masing urat pendapat ingin berdiri sendiri. Rapat yang kerap diadakan menjelang akhir pekan, hanya memunculkan konsensus semu. Akhirnya, kelompok tani di Kampung Linsang kehabisan udara. Bahkan, kasak-kusuk bicara kelompok itu hendak bubar.
***
Tergeletak di halaman surau, empat bebek rebah mencium tanah dengan mata melotot. Seorang investigator mengangkat leher salah satunya, kemudian merebahkan kembali setelah mengamati bekas hitam di sana. Hadir pula pemilik-pemiliknya. Ditanyai ini-itu. Mereka sengaja dipanggil oleh Pak Bau agar teka-teki yang sepekan lama bagai benang kusut bisa lekas terurai.
“Silakan, Nyai Sumintri, mengapa bebekmu mati?” selidik seorang investigator.
Nyai Sumintri menunduk. Air mukanya sedikit masam. Dalam posisi duduk di atas batu, Nyai Sumintri tak sanggup berkata-kata. Ia ingin menumpahkan semua, namun traumanya menjerat lidah sendiri. Tergambar jelas pada wajahnya sebuah tanda ketakutan yang tak dapat dijelaskan.
“Aku melihatnya, Tuan!” Kang Kasiman mengambil alih.
Sang investigator memegang sebuah buku tempat ia akan menggambar ilustrasi.
“Semalam aku tak bisa tidur. Suara itu datang lagi. Seperti benda terseok-seok di tanah. Kandang yang hanya berisi tiga bebek itu gaduh. Aku bisa mendengarnya.
Aku mengambil senter. Berjalan melewati sebuah ruang yang langsung terhubung dengan kandang. Ketika lampu minyak kunyalakan, seekor bebekku telah rebah tak bernyawa di atas tanah. Seperti nasib bebek sebelumnya, lehernya ada tanda hitam.”
“Engkau tak melihat hal lain?”
“Ya, ada. Sebuah telur pecah. Pintu kandang terbuka. Padahal sejak sore sudah aku kunci rapat-rapat.”
“Bisa disimpulkan, bahwa itu adalah perbuatan maling. Di Kampung Linsang ini ada di antara kalian yang jadi maling.”
“Bukan maling, Tuan!” teriak Kang Midi yang telah kehilangan dua ekor bebek terakhirnya sekaligus. “Aku melihat tangan itu pergi setelah mencekik leher kedua bebekku. Mendobrak pintu yang sudah kukunci dan kututupi dengan kursi. Dia kuat betul. Aku hanya bisa mengawasi dari balik tirai dengan gemetar. Kalau aku lawan, tentu aku pula dicekiknya, biarlah, hanya bebek.”
“Bagaimana bentuk dan warna tangannya? Satu tangan atau dua?”
“Satu! Dan warnanya cokelat.”
Sang invertigator itu melihat tangan-tangan warga. Memang sulit dibedakan, semuanya serba cokelat, dan tak tampak suatu ekspresi yang mencurigakan. Ia menghela napas. Sepertinya kasus bebek tak semudah yang ia kira sebelumnya. “Ini akan memakan waktu yang panjang.”
“Kalau begitu, Tuan menginaplah di rumahku,” kata Pak Bau sambil memunguti bebek-bebek yang mati, “dan bebek-bebek ini akan kutempatkan di rumahku. Bagaimanapun, aku yang paling bertanggung jawab di kampung ini.”
Seluruh warga setuju. Kerumunan itu balik kanan dan kembali ke urusan masing-masing.
***
Pada malam harinya, ketika detik jam terasa amat keras di antara kesunyian manusia-manusia yang terlelap, sang investigator terjaga dari mimpinya. Mimpinya begitu aneh. Antara sadar dan tak sadar, ia melihat sebelah tangan kiri Pak Bau meloloskan diri. Berjalan mendobrak pintu depan. Keluar dengan sikap angkuh.
Sang investigator mengatur napas yang memburu dan duduk di bangku dekat sofa tempat Pak Bau mendengkur. Pintu di sebelahnya terkuak lebar-lebar. Ada keheningan dan angin malam terbingkai di luar sana.
Sang investigator tersenyum. Ia menemukan potongan terpenting yang tepat untuk melengkapi gambar ilustrasi. Menatap lekat-lekat pada tangan Pak Bau yang hilang sebelah.
***
Purworejo, 2016
Cerpen: Seto Permada
Lahir tanggal 12 Oktober 1994 di Purworejo. Ia merupakan alumnus SMA Negeri 4 Purworejo. Beberapa cerpennya telah terpublikasi di beberapa media lokal.