Benedict Anderson meninggal dengan tenang pada 13 Desember 2015 lalu. Tiga hari sebelum menghembuskan nafas terakhir, Ben memenuhi undangan mengisi kuliah umum bertema Anarkisme dan Nasionalisme di Universitas Indonesia. Sungguh, tak ada yang mengira bahwa kuliah umum tersebut bakal jadi yang terakhir kalinya bagi Ben.
Indonesianis yang sempat dicekal Orde Baru itu sedang berada di Batu, Malang, saat detik-detik akhir hidupnya. Ia lalu disemayamkan di Rumah Duka Adi Jasa, Surabaya. Ben yang hanya membawa kaus-kaus saat berkunjung ke Indonesia agak merepotkan panitia kremasi. Mereka menyarankan agar jenazah Ben berpakaian kemeja rapi ketika nanti dikremasi. Sugito, sopir yang setia menemani Ben selama di Jawa Timur langsung memasangkan batik Madura ke jenazah almarhum. Kebetulan Ben memang menyukai batik Madura.
Abu Ben sudah dilarung di Selat Madura, di perairan negeri yang selalu memiliki ikatan dengannya: Indonesia. Ben menunjukkan kedekatannya dengan negeri ini dalam buku autobiografi yang diterjemahkan Ronny Agustinus dan diterbitkan Marjin Kiri di Indonesia. Buku Hidup di Luar Tempurung (2016) menjadi kenang-kenangan Ben bagi para pembaca setianya. Corak terjemahan buku ini berbeda dengan yang sebelumnya. Pembaca tak dihadapkan dengan teks akademis yang tata bahasanya menjemukan, Ben kali ini dapat dinikmati dengan bahasa santai dan “akrab”. Namun, corak penerjemahan ini bukannya main-main atau eksperimental. Penerjemah sempat membaca draf aslinya, “sebagai perbandingan iseng-iseng sekaligus bahan pembelajaran yang berguna… (hlm. 201)”
Kedekatan Ben dengan Indonesia sudah sejak tataran kebahasaan. Ben menulis, “Indonesia adalah cinta pertama saya. Saya bisa bicara dan membaca Thai dan Tagalog, tapi bahasa Indonesia benar-benar bahasa kedua saya, satu-satunya bahasa selain Inggris yang bisa saya pakai menulis dengan lancar dan penuh hikmat pula. Kadangkala, saya masih bermimpi dalam bahasa Indonesia (hlm. 63).” Kendati demikian, dalam menulis Ben masih menggunakan bahasa Indonesia ejaan lawas. Dalam risetnya di Indonesia, Ben menjumpai gejala bahwa ejaan yang disempurnakan (EYD) adalah sebentuk politik bahasa rezim Orde Baru. EYD disahkan dan diajarkan supaya generasi Orde Baru tak nyaman membaca teks-teks berejaan lawas, yang banyak di antaranya ditulis orang-orang “kiri”.
Percaya atau tidak, Ben punya kontribusi kecil untuk bahasa Indonesia yang awet sampai hari ini. Gara-garanya, Ben tak suka disebut “putih” oleh orang Indonesia awam. Lagipula, kulit Ben tidak putih, melainkan merah muda kelabu yang sering diistilahkan dengan kata “bulai” atau “bule”. “Jadi saya beritahu kawan-kawan muda saya bahwa saya dan orang-orang serupa saya harus disebut ‘bule’, jangan ‘putih’. Mereka suka ide ini dan menyebarkannya di kalangan mahasiswa yang mereka kenal. Perlahan-lahan sebutan itu menyebar sampai ke koran-koran dan majalah dan menjadi bagian dari bahasa Indonesia sehari-hari,” tulis Ben (hlm. 76).
Selain bahasa, Ben juga merasa cocok dengan budaya Indonesia serta menaruh perhatian pada sastra kita. Ben terkenal gemar memakai sarung, yang dikenalnya saat menginap di rumah Ong Hok Ham (alm.). “Saya kenal sarung ibarat bebek ketemu air, langsung klop, dan meskipun nyamuk-nyamuk bergerumbul, saya tidur nyenyak sekali,” begitulah pengakuan Ben (hlm. 65). Soal sastra, ia memberi penghargaan tinggi pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Ben juga menaruh perhatian pada Eka Kurniawan dan sempat membahasnya dalam paragraf terakhir di bab 6: Pensiun dan Pembebasan. Setelah membaca karya-karya Eka, terkhusus novel Lelaki Harimau (2004), Ben merasa gegabah karena selama ini menganggap telah menguasai penuh bahasa Indonesia. Tapi, bagaimana pun, tidak akan ada lagi orang seperti Ben di negeri ini, bahkan di dunia ini. Selamat beristirahat dengan damai, Benedict Anderson. [*]
Oleh: Udji Kayang Aditya Supriyanto
Peminat kajian sosial-budaya dan penulis buku Rerasan Urban (2016)