
Penulis : P. Swantoro
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : April, 2016
Halaman : xxv + 436
ISBN : 978-602-6208-23-1
Seorang kakek, P. Swantoro, mengisahkan Jawa, juga Madura, melalui perjumpaan dari buku ke buku. Kisahnya dimulai saat sang kakek yang sejarawan mulai pension sebagai wartawan dan pengurus teras kelompok Kompas. Sang Kakek merasa ada desakan untuk memasuki alam nostalgia semasa remaja yang begitu bertaut dengan buku. Maka, dimulailah perkenalannya terhadap satu buku berbahasa Belanda yang menakjubkannya. Ingatannya bertaut pada lambang-lambang kota-kota yang sudah dikuasai Belanda.
Buku itu berjudul Ge Illustreerde Encyclopaedie van Nederlansch-Indië, Ensiklopedi Bergambar Hindia-Belanda, yang diterbitkan di Leiden pada 1934 oleh N.V. Leidsche Uitgeversmaatschappij, penerbit milik negara kerajaan Belanda.Buku ini awalnya dimiliki bapaknya, disimpan di lemari, tapi sudah entah di mana. Seorang teman Sang Kakek yang biasa mencari buku-buku lawas berhasil mendapatkannya untuk Sang Kakek.
Begitulah, akhirnya dari buku ensiklopedia itu, Sang Kakek berkisah buku-buku, para tokoh Belanda penulis buku-buku penting tentang Hindia Belanda, bertemu dengan karya-karya sarjana-sarjana Indonesia awal, sampai akhirnya Sang Kakek mengisahkan polemic dua tokoh proklamator Republik Indonesia: Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta.
Dalam perjalanan pengisahan dari buku ke buku ini, kita bukan saja diajak mendengarkan kisah-kisah yang menakjubkan. Namun, pada akhirnya, kita juga tahu posisi Madura dalam sejarah pemikiran di Indonesia melalui perjalanan buku ke buku. Dalam buku Sang Kakek ini, kita secara tidak langsung diberitahu bahwa Madura sebagai gagasan akademik atau sebagai gagasan dalam gugusan kekuasaan pemerintah colonial Belanda sampai Indonesia merdeka mengalami pergeseran yang drastis.
Sejak semakin kuat kekuasaan Hindia Belanda, setidaknya sejak kemenangannya dalam Perang Jawa pada 1825-1830, secara umum, para sarjana Belanda menganggap penting mengkaji tidak hanya Jawa, tapi juga Madura. Pada tahun 1901, didirikanlah satu komisi yang diberi nama Commissie van Oudheidkundig Onderzoek op Java en Madoera (Komisi Penelitian Kepurbakalaan di Jawa dan Madura), yang bertahan sampai sekarang. Pemimpin pertamanya adalah Dr. Jan Laurens Andries Brandes, yang sering dijuluki sebagai Bapak Studi Historiografi Jawa [Madura?] sebagai Disiplin Akademis.
Brandes berumur pendek, 48 tahun (13 Januari 1857-26 Januari 1905). Artinya, dia hanya memimpin sekitar empat tahun, yang akhirnya dialihkan pada Dr. N.J. Krom. Namun, Brandes berhasil mewariskan dua karya penting. Salah satunya adalah Beschrijving van de Ruinebij de Desa Tumpang, Genoemd Tjandi Djago in Residentie Pasoeroehan (Deskripsi Reruntuhan di Desa Tumpang, bernama Candi Jago, Residensi Pasuruan). Di sini terlihat bahwa secara arkeologis Madura tidak cukup memiliki jejak yang meyakinkan untuk dijadikan pusat penelitian, meski komisi itu secara jelas menyebutkan Madura.
Begitu juga, saat Java Instituut dididirikan pada 1919 di Surakarta, Madura juga dijadikan area kajian yang dianggap penting, bersama Bali. Namun, seiring pergeseran kekuasaan yang terlalu berpusat di Jawa, khususnya Batavia (Jakarta), seperti yang terlihat dalam buku ini, Madura kemudian hanya menjadi kekuasaan administrasi pemerintah kolonial Belanda. Ini artinya, Madura harus dikuasi karena massa muslim dominan yang bisa mengancam kekuasaan politik Belanda di Jawa sebagaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Madura perlahan menjadi bayang-bayang Jawa dalam berbagai kajian akademik, bahkan kemudian kalah dengan Bali.
Bayangan yang mengikat Madura dan Jawa adalah kekuasaan administrasi politik kolonial Belanda, bukan lagi kebudayaan Jawa secara dominan seperti pada masa kerajaan berjaya. Kekuasaan inilah yang akhirnya mengikutkan Madura dalam keindonesiaan.
Maka, kisah Sang Kakek P. Swantoro dalam Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu ini adalah narasi pertautan bibliografis antara Jawa yang menjadi pusat kekuasaan politik sejak masa kolonialisme Belanda dan Madura yang dihuni mayoritas muslim, yang akhirnya menjadi satu dalam imajinasi kebangsaan: Indonesia. [*]
Oleh: M. Fauzi Sukri
Koordinator Tadarus Buku di Bilik Literasi Solo