Dalam perjalanan ini kita seperti membolak-balik dadu saja, ada satu kemungkinan dan ada kemungkinan yang lain, penuh prediksi. Kadang benar, kadang tidak dan kadang kalah, kadang menang. Meski begitu, kita tetap masih ingin bermain menebak kemungkinan. Dan sepanjang perjalanan bernama hidup, kita terus berusaha mencari apa yang sesungguhnya kita inginkan. Tentang uang, tentang cinta, tentang cita-cita dan keinginan.
Dulu aku menganggap bahwa perjalanan cinta kita hanya akan seumur mekarnya amarrylis saat musim hujan. Tapi kau mengingatkanku, mengatakan bahwa cinta kita akan seperti kuku. Terus tumbuh meski kita berusaha menghentikannya. Kemudian kubangun ribuan tembok pembatas agar kita tak lagi bersama. Aku hanya takut dikemudian hari akan menyakitimu, sungguh.
Tembok yang kubangun itu kau hancurkan dengan kekuatanmu. Entahlah. Sebenarnya sangat menakjubkan, mengenali dirimu. Kau adalah satu-satunya orang yang bertahan dengan kondisi yang kuberikan. Aku selalu menyuruhmu menunggu berjam-jam, memarahimu habis-habisan dan tak pernah menganggap keberadaanmu di depan teman-temanku.
“Jika kemungkinan kita bersama hanya 40%, PR kita adalah menggenapinya 60% lagi” kau terus menempatkanku pada posisi harus memilihmu. Aku tersenyum, mengelus pipimu yang kasar. Menyuruhmu menjawab kenapa kau berjuang untuk mendapatkanku sudah tak penting lagi.
“Doakan aku ya sayang, biar cepet dapet pekerjaan”
Aku mengangguk. Kau sedang berjuang mencari uang sebanyak-banyaknya. Masih diperlukan 30 juta agar tabungan mencapai 40 juta. Angka itu sangat sedikit bagi orang yang mampu. Tapi bagi kau yang berusia 23 tahun dan baru saja wisuda S1 keguruan? … angka itu sangat tinggi. Gaji mengajar SD jauh lebih rendah dibanding menjadi buruh pabrik. Dan sekarang kau ingin mencari sebanyak-banyaknya sambilan untuk menambahi jumlah tabungan.
“Kenapa harus 40 juta?” itu pertanyaan yang pertama kali muncul saat aku menjelaskan mahar yang harus kau bayar. Sejak awal kau mengungkapkan cinta, aku sudah mewanti-wantimu. Keluargaku tak akan mudah menerima laki-laki walaupun kau cukup berpendidikan. Pernikahan yang akan terjadi kelak juga tidak hanya pernikahan biasa saja. Tapi pernikahan adat jawa yang sesungguhnya aku juga masih bingung tentang biaya.
Kebanyakan orang yang seumuran dengan kita, aku yakin mereka tak mencari biaya pernikahan sendiri. Mungkin jalan hidup kita berbeda dengan mereka. Sejak masih kuliah kita sama-sama mencari uang sendiri. Seharusnya kita tak banyak mengeluh, hanya lebih banyak bersabar.
*****
Layar laptop masih menyala. Puluhan buku tersebar di depanku. Aku masih mencari ide untuk melancarkan tulisan-tulisanku. Dalam satu minggu ini tulisan Jenni sudah banyak yang tembus media. Kalau aku berusaha lebih maksimal seharusnya bisa. Ribuan kata-kata yang muncul dibenak, semuanya hancur berantakan entah kemana. Pada saat-saat seperti ini seharusnya ada Haryanto yang menghiburku. Dengan beberapa elusan di rambut biasanya rasa kesal dan pusing yang ada di kepala akan berangsur menghilang.
Setiap kali menulis hal seperti ini memang sering terjadi. Semua kata-kata menghilang dan aku hanya menjadi orang bodoh yang selalu menikmati karya orang lain, berandai-andai bisa menulis sebagus mereka. Tapi jika menyerah dari sekarang, rasanya sama saja dengan menyerah pada mimpi.
Kupejamkan mata perlahan. Jika sudah seperti ini aku juga enggan untuk beranjak. Masih ada banyak hal yang ingin kutuangkan dan aku tak bisa memadukan kata-kata sehingga bisa dikatakan pas untuk dibaca. Apa karena ada hal lain yang ingin kutuliskan?
Otakku kembali berfikir tentang mahar yang harus disiapkan Haryanto. Aku tak bisa membantunya mengumpulkan uang karena aku juga harus menyelipkan uang pada ibu saat bersalaman. Adikku masih sekolah dan ibu juga punya banyak cicilan. Lagi-lagi masalah uang. Aku muak memikirkannya.
Ingatanku kembali pada sosok bapak. Ia ingin pernikahanku nanti nanggap wayang, karena ia seorang dalang wayang walaupun nggak laku. Tujuannya bukan semata karena bapak mencintai wayang, tapi karena gengsinya terlalu tinggi. Keadaan ini sangat mendesakku. Selain harus menyelipkan uang untuk ibu, aku harus punya tabungan sendiri. Tapi apakah mereka pernah memikirkanku? Aku baru saja lulus kuliah dan masih bergentayangan cari jati diri dan pekerjaan yang pas.
Apakah mereka tahu? Aku bekerja di mall seharian agar bisa mengumpulkan uang lebih. Berangkat pagi pulang malam. Punya bos galak yang kadang menegurku saat makan. Tak punya waktu istirahat jelas dan tak punya tambahan lembur. Bahkan untuk melihat hujan dan merasakan sengatan matahari saja tak bisa. Yang terlihat hanya kehidupan kota penuh glamor, orang kaya pelit dan kehidupan hedonis.
“Kamu itu anak kuliahan nduk, harus dapet orang kaya biar hidupnya enak” wejangan ibu seperti menjadi nyanyian-nyanyian biksu. Terus berdengung dan membuat otakku buntu. Pintar saja tak cukup untuk mendapatkan laki-laki kaya. Lelaki seperti itu hanya butuh wanita yang berparas cantik, tubuh indah, berpakaian seksi dan pintar menggoda. Mungkin ibu sedang lupa hal lain. Tentang kakakku yang belum juga menikah dengan usia yang mendekati kepala tiga. Dengan kriteria ibuku ditambah pemikiran idealis kakakku seharusnya aku menyuruh mereka cari laki-laki dari planet lain saja. Di planet yang bernama bumi sudah tidak memproduksi laki-laki dengan ciri-ciri tampan, cerdas, menguasai beberapa bahasa, sholeh, kaya, berwajah menarik, tidak merokok dan setia. Kalaupun ada, tidak mungkin ia mau memilih kakakku. Wanita yang mencari laki-laki seperti itu juga banyak. Apalagi sekarang jumlah wanita berkali lipat lebih banyak.
*****
Hujan terjatuh dari langit dengan berbagai bentuk berbeda. Banyak seseorang yang menyerah dalam permainan meski ia belum berjuang dan banyak juga orang yang terus kalah dengan satu permainan. Begitulah cinta. Masih seperti ini. Aku terus berusaha mencarikan seseorang yang pas untuk kakakku dan Mas Haryanto sibuk mengumpulkan recehan agar bisa membawaku ke pelaminan. Hubungan yang sudah terjalin selama lima tahun ini masih juga belum direstui. Sebelum kakakku menikah dan sebelum ia mendapatkan 40 juta.
Kepalaku kembali berkunang-kunang. Tumpukan surat kabar dan buku berserakan di depanku. Masih belum beruntung. Sepertinya dunia benar-benar sedang mengkhianatiku. Pikiranku bertarung menjadi satu. Mencari uang dan terus mencari uang. Tulisanku yang sudah tak terhitung lagi seharusnya diperhitungkan oleh redaktur. Tapi entahlah, tulisan-tulisan yang kutulis sepanjang siang dan malam di antara pekerjaan menunggu baju yang membosankan mungkin sudah berakhir di tempat sampah. Bang Arafat Nur, penulis genius itu bilang bahwa seseorang yang punya hobi membaca tidak mungkin tulisannya ditolak. Kata-kata ini benar-benar tak manjur untukku. Mungkin nasib belum berpihak. Masih menginginkanku bekerja sepanjang hari agar dapur ibu terus mengepul, perutku tak keroncongan dan membantu Mas Haryanto. Sungguh keras usahaku yang belum menunjukkan hasil ini. Rasanya benar-benar memuakkan.
“Maafkan aku sayang …” matahari benar-benar di atas kepala dan hujan di hatiku terus turun dengan deras. Lewat matanya yang semakin mencekung aku bisa mengeruk banyak cerita dari ceruk samudra yang sudah ia suguhkan. Tanganku bergetar dan mataku menatap sekeliling dengan nanar. Koran-koran yang berserakan lebih tahu kemungkinan hari ini. Itulah sebabnya mereka belum memberi kesempatan kepadaku. Uang yang sudah kami kumpulkan tak akan pernah mencapai angka yang diinginkan.
“Kenapa?” dan pertanyaanku tidak akan pernah keluar karena aku sudah menyaksikan bagaimana ia terus memanggul semen, mengantar kertas-kertas berat, mencari penumpang di malam hari dan masih banyak pekerjaan lain yang ia lakukan sampai kuku-kuku yang dulunya halus itu mengelupas. Rasa cinta yang terus kau sirami akan menghancur karena keharusan yang kuberikan. Aku tak akan lagi banyak meminta. Seharusnya kau mengerti bahwa duniaku benar-benar akan hancur setelah kau datang hari ini. *****
Cerpen: Dwi Sariningsih
Bergabung dalam pembuatan majalah kampus dan media pers. Puisinya pernah dimuat di Surat Kabar beberapa kali.