Potret politik Indonesia terus berkembang mengikuti dinamikanya. Mulai dari sistem pemerintahan, tata negara, administrasi negara maupun tata kelola pemerintahan diatur melalui ranah perpolitikan. Sistem demokrasi yang dibangun sejak bergulirnya reformasi, terus melakukan berbagai perubahan dan paradigmanya.
Politik sudah menjadi panglima dalam sistem pemerintahan dan birokrasi di Indonesia, menjadi cambuk bagi para orang-orang yang jujur dan benar, dan akan subur bagi oknum yang menghalalkan segala cara. Politik diparadigmakan sebagai sebuah kebusukan dan kemungkaran, padahal secara teori, politik adalah seni yang masuk dalam bidan ilmu. Seni bagaimana mengatur, memanajemen, merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi pemerintah.
Perkembangan politik terus berkembang mengikuti zamannya, tertumpah seperti banjir bandang yang datang dengan tiba-tiba. Potret pemilu 2014 menjadi tanggungjawab bersama dalam menghasilkan kepemimpinan bangsa yang diharapkan. Proses politik yang berujung terhadap perubahan dan transformasi kebijakan menimbulkan stigma positif dan negatif, baik bagi elit politik dengan berbagai trik pencitraan dan mengkambinghitamkan, maupun dalam kehidupan masyarakat yang saling tuduh atas berbagai eksprimen perilaku elit politik.
Termasuk pilkada yang tidak terpisahkan oleh dinamika politik nasional. Pertarungan kepentingan menjadi salah satu intrik dalam dinamika politik di indonesia. UU Pilkada mengalami berbagai perubahan sesuai dengan tantangan dan kebutuhan. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan pemimpin yang profesional, kompetitif dan akuntabel. Tentu dengan adanya berbagai perubahan peraturan kepemiluan, menjadikan masyarakat semakin dewasa dan berimplikasi pada tingkat partisipas yang tinggi dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serta dapat mendorong tercapainya grand design reformasi biorkasi melalui good governance.
Demikian pula pendapat Smith (1998) yang dikutip oleh Djoehermansyah Djohan (2014) bahwa pemilihan kepala daerah merupakan destinasi pembentukan karakter demokrasi di daerah yang berangkat dari sebuah keyakinan sebagai fondasi tingginya demokrasi ditingkat nasional. Hal ini diperkuat oleh empat alasan. Pertama, demokrasi di daerah merupakan sarana pendidikan yang ditransformasikan dan diaplikasikan secara langsung dalam kehidupan masyarakat di daerah. Dengan demikian, mendekatkan masyarakat daerah dengan bentuk-bentuk perpolitikan di indonesia. Hal ini menjadi bagian pembelajaran politik yang efektif untuk membangun partisipasi bagi masyarakat.
Kedua, nilai tawar yang tinggi bagi pemerintah daerah dapat menjadi penyeimbang dalam pelaksnaaan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat, sehingga merupakan bentuk kontrol otomatis bagi pemerintah pusat.
Ketiga, Pilkada dapat membentuk partisipasi mayarakat yang tinggi dalam kehidupan politiknya. Masyarakat semakin cerdas dalam memilih pemimpin-pemimpin yang diharapkan. Melalui pilkada, keterlibatan masyarakat untuk menentukan masa depan daerah dan negaranya dapat menjadi harapan bersama. Dengan partisipasi yang tinggi, menjadi keniscayaan tentang pemilihan pemimpin yang baik dan sesuai dengan harapan seluruh masyarakat.
Keempat, reformasi birokrasi ditingkat daerah akan mempengaruhi reformasi birokrasi ditingkat pusat secara signifikan. Karena pemerintahan daerah menjadi faktor penentu keberhasilan reformasi birokrasi pada tingkat pusat. Bagitu juga berkaitan dengan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada penyelenggaraan pemerintahan ditingkat daerah,dalam hal ini yang paling mendasar adalah pelayanan publik.
Dengan demikian pilkada merupakan proses penting terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Hal itu berkaitan pula dengan sistem demokrasi yang dibangun untuk sebuah kebebasan yang berdasarkan pada nilai-nilai konstitusi. Diungkapkan oleh Fatkhul Muin (2015) yang mengutip pendapat Suharizal (2010) bahwa pilkada secar langsung berdampak pada tatanan pemerintahan yang ada, salah satu diantaranya adalah meningkatkan akuntabilitas pemerintahan lokal, menciptakan hubungan yang baik antara pemerintah dengan masyarakat, tanggap terhadap kebutuhan masyarakat, dan menciptakan stabilitas pemerintah lokal. Kaitannya dengan itu pula, reformasi birokrasi pada pemerintahan lokal akan berjalan secara maksimal dan efektif. Hal ini merupakan konsekuensi dari komitmen kepemimpinan yang dipilih secara langsung melalui pilkada sehingga memberikan stigma positif bagi peningkatan kualitas pelayanan dan penyelenggaraan pemerintahan baik.
Reformasi birokrasi mempunyai dampak terhadap perilaku, psikologi, dan secara fisik bagi struktur, sumber daya manusia, maupun infrastruktur di dalam tubuh birokras. Proses formulasi kebijakan yang dilakukan secara terbuka dan transparan, implementasi kebijakan yang dijalankan secara procedural, dan sistem evaluasi kebijakan yang akuntabilitas dan profesionalitas diperoleh dari sistem pemilihan yang baik. Pemilihan kepala daerah yang baik dapat menjalankan sistem pemerintahan secara baik, tanpa adanya intervensi pihak luar yang mengakibatkan terjadinya kepentingan-kepentingan dalam pengambilan kebijakan, hal itu akan berakibat fatal dan menghianati amanah yang sudah diberikan oleh masyarakat, sehingga tujuan utama dari penyelenggaraan pemerintahan seperti yang diharapkan oleh masyarakat yaitu memberikan pelayanan secara baik dan mengabdi untuk masyarakat tidak akan tercapai secara maksimal, karena ditunggangi oleh kepentingan yang lain.
Oleh karena itu, pelaksanaan pilkada menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari suksesi reformasi birokrasi untuk mencapai sebuah tujuan yang diharapkan bersama, yaitu meningkatkan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kesejhateraan masyarakat, dan menjadi pengabdi kepada bangsa dan negara melalui kepemimpinan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Yaitu menjalankan prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sebagai bagian dari pencapaian tujuan pemerintahan yang baik dan bebas dari korupsi. [*]
Oleh: Hayat
Dosen Ilmu Administrasi Pulbik Universitas Islam Malang