
Penulis : Syaf Anton Wr
Penerbit : Kaleles Publishing, Yogyakarta
Cetakan : Revisi, Januari 2016
Tebal : 103 Halaman
ISBN : 978-6021669-29-8
Penulis antologi ‘Langit Suasa Langit Pujangga’, Syaf Anton Wr tidak asing di dunia kesusastraan, terutama di Sumenep, Madura. Dalam prolognya, Matroni Muserang mencatat, Syaf Anton Wr eksis di dunia sastra mulai 1980. Bila mengikuti periodeisasi versi Ajib Rosidi, puisi-puisinya masuk periode 1961 (puisi baru), nyaris setara dengan era Taufiq Ismail dan Sapardi Djoko Damono.
Akan tetapi, dilihat tipografinya yang nirbait, puisi-puisi Syaf Anton Wr cenderung mendekati puisi kontemporer, yang sebetulnya baru dimulai 20 tahun kemudian. Tepatnya, periode 2000, kata Abdul Rani yang diiyakan Korrie Layunn Rampan. Dia banyak menggunakan estetika baru yang disebut antromorfisme. Bahkan cenderung berlebihan memakai kata matahari, langit, bulan, laut, dan benda-benda yang berkaitan erat dengan sistem tata kelola jagad raya ini. Seakan-akan dia hendak mengaji kosmos dengan puisinya.
Sebagai sastrawan senior, dia telah melahirkan sejumlah generasi sastrawan, sehingga otomatis diorbitkan sebagai guru para sastrawan muda. Bila mau jujur, inilah yang mempengaruhi penerbitan buku ini, sebagaimana dilansir dalam epilog yang ditulis Ketua Umum Lembaga Kajian Kebudayaan Kaleles, A Hamzah Fansuri Basar, pihak penerbit buku ini.
Dalam buku ini, Syaf Anton Wr tidak hanya mengaji eksistensi kosmos. Namun juga dimensi kehidupan yang cenderung paradoks. Goresan luka-duka mengenai garis kesenjangan antara harapan dan realitas yang dialami individu, kehidupan sosial kota dan desa, tragedi perjalanan spiritual, juga leluri sosok seorang ibu dan ayah, dengan ayat-ayat kauniyah lainnya. Yang terekam oleh indera halus Syaf Anton Wr, telah menelusup ke relung sanubarinya, hingga mengguncang kegelisahan pikirannya. Sebelum akhirnya mengalir melalui perasan tintanya menjadi rangkaian kata-kata yang enak dibaca.
Kegelisahan itu membuatnya sampai pada titik kesimpulan bahwa, baginya dunia ini adalah arena perjuangan hidup. Kadang-kadang membuat seseorang menjadi gelap mata dan mencedarai keharuman darah persaudaraan dengan toba sengketa. Akan tetapi, kadang-kadang juga persaingan hidup ini akan berakhir dengan ending yang menikmatkan ketika setiap orang sudah tahu esensi dari eksistensinya masing-masing. Inilah kira-kira interpretasi atas puisinya berjudul sebuah arena, yang menjadi pembuka dari 68 puisi dalam buku ini ( hal 1).
Pemilihan diksi dan penggunaan majas kiranya menjadi sisi positif. Walaupun agak merumitkan apresiator pemula untuk menginterpretasikannya, cukup kuat membuat orang betah berlama-lama memelototi tiap untaian kata-katanya yang terjalin penuh makna. [*]
Oleh: Abdur Rahem
Guru Bahasa Indonesia