Wacana restorasi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) terus menggelinding sejak Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri melemparnya ke publik. Merujuk lintasan sejarah Indonesia, pola pembangunan berjangka ini pernah dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan Presiden Soekarno.
Dalam perhelatan nasional Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri menilai buruk sistem pembangunan negara yang semakin tak padu dan cenderung berjangka pendek. Penyebabnya, begitu terjadi pergantian pemimpin, terjadi pula pergantian visi-misi dan program pembangunan. Karena itu, ujar Ketua Umum PDI-P, di masa depan, program pembangunan harus bersumber dari GBHN yang ditetapkan MPR.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Presiden Joko Widodo juga menghendaki haluan yang jelas tentang pembangunan Indonesia. Mengutip surat kabar Kompas edisi 11 Januari 2016, Presiden Jokowi mengatakan, Indonesia harus memiliki haluan yang jelas tentang ke mana arah Indonesia. Pembangunan Nasional Semesta Berencana menjadi pekerjaan rumah yang harus dirumuskan sejak sekarang untuk memperjelas pembangunan ke depan
Sebetulnya, jika diikuti dengan saksama perkembangan wacana terkait dengan soal ini, pikiran menghidupkan kembali GBHN telah muncul jauh sebelum perhelatan PDI-P. Misalnya, di banyak kesempatan MPR melakukan sosialisasi hasil perubahan UUD 1945, muncul pertanyaan sekitar tak adanya GBHN. Tidak hanya pertanyaan, muncul pula pandangan yang menghendaki GBHN dihidupkan kembali.
Pengamat Politik sekaligus anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yudi Latif, menilai perubahan GBHN adalah penting. Mengingat pasca reformasi tidak ada lagi institusi yang meminta pertanggungjawaban presiden.
Menurut Yudi, orde reformasi hendak meniru sistem Amerika Serikat namun ‘salah arah’ karena mengadopsi secara tak konsisten. Lebih lanjut, ia menjelaskan, setelah MPR dijatuhkan dari posisi lembaga tertinggi, kewenangannya menyusun GBHN juga ditiadakan. Sebagai, gantinya muncul Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang ditetapkan dengan UU. RPJPN ini diturunkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk periode lima tahunan dan Presiden yang menentukan platform politik pembangunannya sendiri.
Mengutip Yudi Latif dalam tulisannya yang berjudul “Restorasi GBHN”, hal ini amat berbeda dengan sistem pemerintahan yang dijalankan di Amerika Serikat. Di sana, meskipun Presiden diberikan wewenang untuk menetapkan platform kebijakannya, namun fungsi Kongres dalam menentukan anggaran lebih kuat. Sesuai dengan sistem pemisahan kekuasaan, baik Senat dan DPR di AS harus sama-sama menyetujui anggaran, kemudian ditandatangani Presiden Amerika Serikat. Jika Presiden tidak setuju atas rancangan anggaran yang ditetapkan Kongres, Presiden bisa memvetonya, dan rancangan anggarannya dikembalikan ke Kongres. Di Kongres, veto tadi dapat dibatalkan dengan dua per tiga suara menolak. Oleh karena itu, kerap terjadi dalam sejarah AS, perselisihan dalam Kongres atau veto Kongres atas veto Presiden berdampak pada penutupan pemerintahan (shut down), seperti terjadi belum lama ini.
Belajar dari Pengalaman Negara Lain
Melihat arah reformasi bangsa yang diharapkan mampu membawa kemakmuran dan kemajuan bagi segenap rakyat Indonesia tak kunjung menemukan jalannya. Wacana untuk menghidupkan kembali Garis–Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan mengembalikan UUD 1945 sebelum Amandemen2 menguat kembali di permukaan. Di masa OrdeBaru, GBHN terlihat cukup sukses menjadi alat bantu navigasi terhada parah perjalanan kapal besar bernama Republik Indonesia. Usaha menghidupkan kembali GBHN dan keorisinalitas UUD 1945 mengingatkan kembali pada dua Jenis Reformasi yang dianggap paling sukses di dunia, yakni Restorasi Meiji Jepang dan Revolusi Islam Iran.
Dua Revolusi di atas, sukses membuat Jepang dan Iran menjadi Negara yang memiliki arah pembangunan yang jelas, berkarakter dan mandiri. Lihatlah di sektor budaya, pesatnya perkembangan teknologi dan westernisasi di daratan Jepang tak lantas membuat Bangsa Jepang menanggalkan Identitasnya. Rakyat Jepang masih bangga dengan Budaya dan adat-Istiadatnya, Festival-festival Tradisional rutin diadakan, Kimono, Yukata, Katana, Samurai, Ninja, adalah lambing kebanggan Budaya Jepang bahkan Industri Otomotif, Musik, Game , Komik dan Anime nya telah berhasil menguasai dunia.
Iran pun demikian, setelah berubah dari Kerajaan Iran menjadi Republik Islam Iran pasca Revolusi Islam Iran. Negara Iran menjadi satu-satunya Negara yang menerapkan sistem pemerintahan unik berbasis Agama Islam. Memiliki Presiden yang dipilih melalui pemilu tetapi juga memiliki pemimpin tertinggi (supreme leader) yang kedudukannya lebih tinggi dari presiden serta adanya pasukan khusus selain militer Iran yang bertugas menjaga keutuhan Revolusi Islam yakni Garda Revolusi (IRGC).
Setelah mampu meraih kemenangan melawan Invasi Tentara Irak yang dibantu Barat, Iran terus meroket menjadi Negara yang sangat di perhitungkan di Kawasan Timur Tengah. Berbagai upaya Barat untuk menyabotase, mengembargo dan menekan Iran dengan berbagai cara justru membuat Iran makin semangat berjuang. Hasilnya, Iran sukses mengembangkan Teknologi Nuklir yang hanya dikuasai segelintir Negara maju. Diranah Budaya pun, Rakyat dan Pemerintah Iran tetap tak meninggalkan adatdan budaya sendiri. Semakin faktual bahwa Revolusi Islam Iran berhasil mengubah wajah bangsa Iran yang semula terkungkung dalam keditaktoran Syah Iran yang sangat Pro Barat menjadi Bangsa Iran yang mandiri, bernafaskan Islami, Berbudaya, Maju danterus berjuang menghadapi Hegemoni Barat.
Itulah hasil dari sebuah Revolusi yang seharusnya, mengubah sesuatu yang buruk menjadi baik dan lebih baik lagi. Semoga saja Reformasi yang telah digulirkan bangsa Indonesia dan terlanjur tak terkendali ini mendapat perhatian serius dari segenap komponen bangsa. Menghidupkan GBHN, Mengembalikan Keorisinalitas UUD 1945 dan perubahan lain yang diperlukan semoga dapat membantu mengembalikan kembali arah Reformasi pada jalan yang benar.
Budaya Indonesia harus menjadi kebanggaan seluruh rakyatnya, Mandiri dan maju di segala bidang serta. Restorasi Meiji dan Revolusi Islam Iran seyogyanya dapat menjadi sumber Inspirasi dan Referensi bagi Bangsa Indonesia tentang bagaimana Reformasi itu seharusnya di jalankan. Dan yang lebih penting, sebelum melangkah lebih jauh, wacana menghidupkan lagi GBHN harus dikunyah secara mendalam. Sebab, kita tidak ingin perubahan-perubahan mendasar dilakukan dengan logika politik semata. [*]
Oleh: Mahathir Muhammad Iqbal
Anggota Kaukus Penulis Aliansi Kebangsaan dan Dosen UNIRA Malang