Setahun silam, aku dipaksa pindah dari rumah lamaku, yakni kediaman Bu Ina, sebuah hunian megah berlantai dua. Padahal, aku sangat menikmati kebersamaan dengan pemilik butik tersebut. Setiap hari jemarinya yang berhias cincin berlian itu menjelajahi dan mengelus tubuhku. Tapi sayang, perhatiannya sedikit demi sedikit berkurang dan akhirnya menghilang.
Dan tibalah hari kemalanganku.
“Mang Jali, tolong pindahin Si Bang ke rumah Pak Mardi, ya. Aku udah gak punya waktu lagi buat ngurus dia.”
“Nggih[1], Bu.”
Sekarang di sinilah tempatku, tinggal di sepetak lahan berumput di depan rumah Bu Mardi, tepatnya di sebelah pohon mangga arumanis yang rimbun. Tak ada lagi elusan lembut dan sayang dari Bu Ina yang menelusuri lekuk tubuhku.
Meskipun semakin renta, aku tetap jadi favorit semua warga. Anak-anak sering mengajakku main bersama. Terkadang mereka bernyanyi dan berjoget, menirukan tarian seksi para selebriti yang unjuk gigi di televisi. Lain waktu bermain drama.
“Main petak umpet, yuk,” celutuk Roni.
“Nggak, ah. Capek. Mendingan kita duduk di sini nungguin azan Maghrib,” sahut Firman.
Dion dan Radit menyetujui usulan Firman. Mereka pun asyik mengobrol di sampingku, sambil duduk beralaskan sandal masing-masing. Meskipun masih duduk di kelas tiga SD, empat sahabat itu memang kompak salat berjamaah di musala. Patut diacungi jempol.
Yang sering datang mengunjungiku untuk bertukar cerita tentu saja Pak Mardi. Bertiga dengan Pak Rendra dan Mang Jali, pemilik tempatku bernaung itu sering lupa waktu kalau ngobrol. Dia baru beranjak pulang jika istrinya membuka pagar sambil berkacak pinggang. Pasti dirinya sudah terkena virus suami-suami takut istri.
Jika kaum hawa, lain lagi ceritanya. Sebut saja Bu Rendra, ibu rumah tangga yang mempunyai lidah sangat tajam. Ditambahi bumbu nan pedas didengar, diracik dengan kalimat yang luwes, maka berita biasa akan menjadi super istimewa jika keluar dari mulut istri satpam perumahan tersebut.
Acapkali aku merasa kasihan dengan Bu Rahmat, penghuni rumah megah sebelah Bu Rendra. Ibu dengan dua jagoan kecil ini sebelumnya hanya berkutat dalam kesibukan rumah tangga, yakni melayani suami dan mengasuh anak. Baru tiga bulan ini dia diterima kerja sebagai tenaga pengajar di sebuah SMP swasta.
“Eh, Dik Ajeng, tahu nggak sih. Semalam Bu Rahmat beli vario. Padahal belum sebulan suaminya beli tiger. Coba pikir, dapat uang dari mana? Pak Rahmat kan hanya pekerja pabrik. Tapi hebatnya, bisa beli dua motor dalam waktu satu bulan. Aneh, nggak?” Bu Rendra nyerocos sembari menyikut lengan lawan bicara yang berdiri di sampingku.
“Kan Pak Rahmat punya usaha sampingan, Bu. Jadi wajar aja kalau uangnya banyak.” Bu Ajeng tersenyum tipis. “Maaf ya, Bu. Saya mau lembur setrika, nih.” Wanita berkerudung lebar itu berusaha mengakhiri obrolan secara halus. Ekspresi muka sang penggosip bertubuh tambun pun langsung cemberut.
Setahuku, Bu Ajeng tak pernah terlibat dalam obrolan yang bertujuan mendiskreditkan orang lain. Hari-harinya dicurahkan untuk berbakti kepada suami dan mengasuh buah hati yang masih balita. Keluar rumah hanya untuk menyapu halaman, belanja atau jalan-jalan dengan imam dan anaknya.
Tentu saja, hal seperti itu menjadi sasaran empuk bagi Bu Rendra. Seperti saat ini, Bu Mardi, Nyak Ipah, serta biang gosip tersebut makan bersama di sebelahku. Mereka asyik membuat rujak buah. Pepaya, nanas, melon, mentimun, plus tahu goreng dicocol ke dalam bumbu kacang manis dan pedas.
“Sssttt, lihat tuh, Dik Ajeng. Jarang ngumpul. Kesannya ekslusif banget. Nggak mau bergaul dengan warga kampung seperti kita,” cerocos Bu Rendra.
“Halaahh[2], biarin aja. Yang penting nggak gangguin kita. Iya, nggak?” Bu Mardi mengedipkan matanya.
“Hmm, paling dipingit sama suaminya,” sahut Nyak Ipah.
Ketiganya tertawa bersamaan. Bahkan saat azan Zuhur berkumandang, mereka masih asyik cekikikan tak langsung pulang.
Sebentar lagi Idul Adha, dan aku selalu diikutsertakan seperti saat penyembelihan hewan kurban tahun kemarin. Sapi dan kambing disembelih di belakang musala. Anak-anak berjubel melihat prosesi tersebut sambil bergantian menyuarakan takbir di musala. Ibu-ibu akan menyiapkan segala sesuatunya untuk memasak. Saat makanan sudah siap, mereka selalu menitipkannya padaku. Makan bersama satu kampung pun segera dimulai.
Pendek kata, aku tahu segala hal yang ada di sini. Mulai dari canda tawa anak-anak, gosip panas yang beredar di kalangan kaum hawa, sampai obrolan singkat para bapak seputar burung peliharaan atau politik tingkat tinggi. Semua kusimpan dalam satu kata bernama rahasia. Sampai kapan pun bangkai omongan tak akan tersebar jika aku yang menjadi pendengar.
Oh iya, kenalkan. Aku adalah saksi bisu Kampung Delta: Si Bangku Tua dari kayu jati. Ukiranku masih mengkilat, karena dulu sering dielus-elus dengan kain dan pelitur oleh Bu Ina.
Catatan:
1. Nggih : iya
2. Halah : sudahlah
Gresik, 11 Agustus 2016
Elisa D.S. nama pena dari Elisa Dwi Susanti. Guru les Bahasa Inggris yang sedang menekuni dunia tulis-menulis. Perempuan kelahiran Malang dan sekarang berdomisili di Gresik – Jawa Timur. Karya-karyanya dimuat diberbagai media cetak ataupun online.