Selama agama dimaknai semata tumpukan doktrinasi dari dan untuk pelembagaan formal keagamaan, sejauh itu pula agama akan terus tampak mengekang pola kehidupan masing-masing pemeluknya. Sesekali pola semacam ini seperti biasa-biasa saja. Namun tanpa kita sadari, pada saat-saat tertentu dapat mengeksploitasi paradigma kehidupan sosial umat itu sendiri. Efeknya, agama benar-benar (terus) dikategorikan sebagai hal yang kurang mampu memberikan kontribusi positif terhadap dinamika, pergulatan dan kelangsungan sosial umat yang mendambakannya.
Kencenderungan pola doktrinatif ini juga akan sangat mengganggu masa depan agama di kancah peradaban global (global civilization). Agama yang seyogiyanya menjadi modal, model dan kekuatan sosial bagi siapa saja yang menganutnya jutsru hanya akan berbenturan dengan cibiran dan caci maki atas realitas yang ia suguhkan. Bahkan dalam konteks yang lebih jauh, pelan-pelan agama (doktrinatif) mudah disepelekan dan disia-siakan oleh masyarakat global (global society). Dan agama, meniru Karl Marx, akan terus tampak sebagai candu bagi manusia yang (masih) menganggapnya mempunyai arti.
Salah satu risiko sosial dari pola doktrinatif, agama gampang dipersalahkan dan dianggap tidak pernah aspiratif serta tidak realistis mendampingi masyarakat di hadapan fakta-fakta modernitas. Beragama lalu dinyatakan sebatas arah menghilangkan kegelisahan penganutnya dalam kondisi sesaat yang terkadang tidak banyak memberikan makna lebih produktif setelah kegelisahannya memudar. Inilah ironi religiusitas yang tidak boleh dibiarkan berlangsung lama. Sebab bukan saja mengikis nilai-nilia luhur dari pada agama, melainkan akan merusak tatanan kelangsungan agama di masa yang akan datang.
Dua dimensi
Sebagai pegangan hidup dan sistem sosial, agama mempunyai dimensi-dimensi yang melekat sejak awal kelahirannya. Yakni, dimensi profanitas (keduniawian) dan sakralitas (keakhiratan). Dua dimensi ini adalah “fitrah” agama apapun yang hadir di tengah-tengah kehidupan umat manusia. Dua dimensi ini pula yang sejatinya merupakan salah satu kelebihan agama dibandingkan sistem sosial lain yang terus digelindingkan banyak aktifis, praktisi, intelektual, ideolog, teolog, dan filosof sekalipun.
Dimensi profanitas bukan sesuatu yang negatif. Dimensi ini amat berguna dalam rangka kebangunan tahapan eksistensial manusia beragama secara sosial bermasyarakat. Kenyataan hidup di dunia adalah hal yang tidak bisa dihindari. Ia mesti dihadapi melalui berbagai kemampuan dan keahlian sosial dengan aneka ragam perspektifnya. Sebab, menurut semangat ajaran Islam, bahwa kehidupan dunia ini sejatinya merupakan ilustrasi akan kehidupan akhirat (al-dun-ya mazra’atu al-akhirati).
Beragama di dunia, sejatinya adalah seni mengolah kehidupan sosial berbasis religiusitas. Bukan semata menegakkan ritualitas agama, akan tetapi mengaktualisasikan nilai-nilainya ke seluruh ruang sosial bermasyarakat. Dari dan untuk aktualisasi nilai-nilai ritualitas itu maka kehidupan setiap penganut agama tidak akan terlalu “berjarak” dengan realitas bermanusia, berbangsa dan bernegara. Dan, penganut agama semestinya dapat mengusung laku kehidupan sosialnya dengan maksimal di hadapan sesama makhluk Tuhan yang sama-sama berada dan mengada sebagai hambaNya.
Artinya, penganut agama tidak boleh hanya berpangku tangan dan menunggu takdir menyikapi status sosialnya. Ia harus proaktif dan progresif mengolah dan mengelola aspek-aspek kehidupan. Ia mesti terus bergerak dari ruang satu ke ruang lain untuk bertumbuh dalam konteks bermasyarakat. Tidak boleh mandeg dan menganggurkan kehidupan dengan mengatasnamakan bahwa “nasib sosial” sudah ditentukan Tuhan sedari awal hingga akhir hayat. Karena hidup itu, setidaknya menurut sebagian filosof, adalah “vivo;” rumusan nilai dan eksistensialitas yang sedemikian dinamis. Bukan wujud dari kepasifan, apalagi kemalasan (al-‘asl).
Dimensi sakralitas agama, disadari atau tidak, merupakan pematangan dari paradigma dan praktik kehidupan masing-masing penganutnya sejak di dunia hingga ke alam lain kelak. Dimensi ini adalah “pelumas” dan “molto” bagi rasa, pikiran, karsa, dan karya nyata kehidupan sosial setiap pemeluk agama. Seperti diuraikan di atas, bahwa kehidupan duniawi merupakan media bercocok tanam untuk kehidupan akhirat. Maka memompa kualitas kehidupan duniawiyah tak akan lepas dari rumusan nilai-nilai ukhrawiyah yang telah ditekankan oleh agama. Wa la al-Akhiratu Khairullaka min al-Ula (QS. Al-Dhuha [93]: 4).
Kelenturan beradaptasi
Di sisi lain, dimensi sakralitas adalah bagian dari seni (dalam) beragama (the art of religion) menuju kelenturan beradaptasi dengan realitas sosial masyarakat. Paradigma kehidupan duniawi tidak akan menemukan makna cukup lezat manakala dilepaskan dari estetika nilai-nilai ukhrawi. Agama bukan semata ritualitas formal dan kaku. Agama juga napas dari kreasi sosial umat manusia yang berbasis imani. Tak ada aktifitas umat beragama yang bisa menjarakkan diri dengan rumusan nilai-nilai spiritualitas (ukhrawi). Sebab fitrah manusia terdiri dari raga sekaligus jiwa, material-lahiri dan esensial-batini.
Ibadah salat saja yang jelas-jelas bersifat wajib di kalangan umat Muslim, meminjam istilah Moh. Iqbal, semangatnya tetap perluasan makna dan loyalitas sosial dalam skala makro. Ia tidak berdiri sendiri secara nilai dan orientasi esensialitasnya. Bahkan, Alquran tegas menyatakan bahwa barang siapa yang melaksanakan salat namun tidak mampu mencegah kemunkaran dan perbuatan buruknya di hadapan masyarakat, mereka bukan pelaku salat yang sejati (QS. Al-‘Ankabut [29]: 45). Mereka tak lebih sebagai pribadi yang menyibukkan diri dengan gerakan-gerakan olah fisik semata.
Jelas bahwa ritualitas berbasis semangat batini dapat menjadi seni memompa kualitas nilai laku sosial-lahiri setiap penganut agama. Struktur gerakan dalam salat pun merupakan simbol bagaimana kita mengaktualisasikan perilaku keagamaan di hadapan Tuhan sekaligus sesama manusia. Atau, masih dalam pandangan filosofis Moh. Iqbal, salat adalah suatu proses penemuan diri manusia yang unik, dimana ego yang mencari meyakinkan dirinya sendiri justru di saat penolakan diri, dan dengan demikian menemukan harga dan pengesahan dirinya sebagai faktor dinamik dalam kehidupan alam semesta. Lagi-lagi penekanannya adalah mengontekstualisasi dengan realitas sosial. [*]
Oleh: Masmuni Mahatma
Dosen STAIN SAS dan Ketua PW GP Ansor Babel