Sebenarnya ada 101 daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di tahun 2017. Namun –bisa jadi- hanya Pilkada DKI Jakarta yang menyita perhatian luar biasa. Begitu hebohnya beberapa kalangan menyebut mirip pemilihan presiden dan wakil presiden.
Faktor ibukota mungkin menjadi penyebab pertama. Anggapan Jakarta merupakan barometer secara nasional juga mempengaruhi. Lalu, sosok petahana Basuki Tjahya Purnama alias Ahok agaknya faktor paling dominan hingga Pilkada daerah lain seakan sekedar melengkapi.
Ahok yang gayanya terasa beda memang mudah menggoda jadi konsumsi pemberitaan. Latar belakang genetis sebagai warga negara keturunan ditambah perbedaan keterikatan keagamaan dengan mayoritas penduduk negeri ini yang sebagian besar muslim, melengkapi kegaduhan Pilkada Jakarta hingga praktis menyita perhatian sebagian besar masyarakat negeri ini.
Dari sudut pandang politik dinamika yang berkembang masih wajar-wajar saja. Sejauh ini belum memperlihatkan kecenderungan mengarah pada situasi dan kondisi genting. Masih dalam koridor dinamika politik khas Pilkada dengan tambahan bumbu khusus berbagai varian tersebut di atas.
Kini pasca pendaftaran para kandidat terpapar jelas siapa yang akan bertarung pada Pilkada nanti. Para pendukung masing-masing kandidat sesuai aturan main mulai melakukan langkah-langkah strategis agar dapat memenangkan Pilkada mendatang.Semua diharapkan –betapapun bersemangatnya- tetap dalam koridor pemilihan mencari yang terbaik. Karena itu diharapkan proses Pilkada dapat menghindari berbagai hal yang menimbulkan suasana panas, amarah dan tindakan kekerasan.
Perdebatan beraroma SARA sudah pasti yang paling harus dihindari terutama ketika menyinggung ataupun menyerang agama kandidat. Jika sekedar himbauan memilih kandidat beragama tertentu sebagaimana ditegaskan KPU, bisa dipahami. Namun menyerang keterikatan agama kandidat sudah sangat jelas kurang menguntungkan bagi terwujudnya Pilkada damai.
Di negara paling demokratis di dunia seperti Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa lainnya mengajak pemilih memilih kandidat beragama tertentu masih ada. Ini manusiawi karena pertimbangan kenyamanan relasi sosial. Namun sikap menyerang keterikatan keagamaan kandidat praktis sudah tidak ada. Mereka menyadari bahwa keterikatan keagamaan merupakan hak seseorang yang tak bisa dicampuri oleh siapapun. Jika Tuhan saja membiarkan manusia menganut agama sesuai keyakinannya lantas apa hak manusia memaksa apalagi menyerang keterikatan agama seseorang.
Memang masih mudah ditemui agama menjadi komoditas politik melalui berbagai penafsiran yang sudah tentu penuh kepentingan politik di negeri ini. Termasuk dalam Pilkada Jakarta, yang kebetulan ada kandidat berbeda keterikatan keagamaan. Namun masyarakat Indonesia, terutama yang berada di Jakarta tampaknya sudah terbiasa dan kurang peduli lagi jika agama dijadikan komoditas politik. Masyarakat Jakarta termasuk pula daerah lainnya tampaknya tak akan terpengaruh dengan berbagai upaya menjadikan agama sebagai komoditas politik dalam Pilkada mendatang.
Belajar dari pengalaman berkali-kali Pilkada, termasuk Pileg dan Pilpres, menjadikan agama sebagai komoditas politik agaknya sudah mulai kurang peminat. Masyarakat Indonesia, terutama yang ada di Jakarta dan kota besar lainnya, makin menyadari bahwa agama seringkali hanya jadi komoditas kepentingan sesaat. Karena itu jualan agama dari berbagai survey membuktikan sudah kecil peluangnya untuk laku keras di tengah hiruk pikuk hajat politik.
Inilah dinamika sosial yang belakangan berkembang. Walau berseliveran berbagai pemanfaatan agama untuk kepentingan politik, masyarakat memperlihatkan kecenderungan bersikap lebih dewasa, arif, bijaksana, rasional dalam menentukan sikap politik. Sebuah dinamika yang semoga menjadi jaminan damainya Pilkada di negeri ini.
