BANGKALAN, koranmadura.com – Dulu, tahun 1970-an, sebelum jalan aspal menembus pelosok desa seperti sekarang. Warga di Desa Jaddih Timur, bila bepergian lewat ‘lorong’. Desa ini terletak di Kecamatan Socah, sekitar setengah jam sebelah utara Kabupaten Bangkalan.
Lorong itu sebenarnya dari parit. Hanya bila sedang tidak hujan, warga memfungsikannya sebagai jalan utama desa selain pematang sawah. Berbeda dengan parit di kota, dimana air selalu menggenang. Parit di Jaddih hanya tergenang air saat turun hujan.
Parit itu disebut lorong karena dulu kendalamannya mencapai 4 meter dari permukaan tanah. Lebarnya antara 2 hingga 3 meter. Kanan-kiri hanya tebing tanah, mirip lorong rahasia. Namun kini, sebagian besar lorong mengalami pendangkalan, banyak pula yang ditimbun warga sejak jalan aspal masuk desa.
Sisa-sisa lorong yang belum mendangkal, bisa dijumpai di Dusun Lembung. Salah satunya terletak di samping rumah Pak Saleh. Kedalamannya masih 4 meter dan lebar sekitar 3 meter. Katanya, cukup dilewati satu unit Avanza. Pengibaratan ini karena konon pernah ada mobil nyungsep ke lorong tersebut. Namun, lorong yang kedalamannya masih asli ini hanya tersisa kurang lebih 100 meter. Selebihnya telah dangkal atau hilang karena ditimbun tanah.
Rama Juri, 92 tahun, sesepuh Dusun Lembung, tahu betul susahnya berjalan di lorong. Selain licin saat hujan, tanah juga nempel di alas kaki. bikin langkah jadi berat, kalau dipaksakan sandal bisa putus. Sebab itu, jika berjalan lewat lorong, warga banyak tidak pakai alas kaki. Sendal baru dipakai saat pergi kondangan, itu pun saat melewati lorong sendal ditenteng dan baru dipakai saat tiba di tujuan.
Kata Rama Juri, bila hujan deras mengguyur, lorong tak bisa dilewati. Anak-anak kecil biasanya suka naik batang pisang yang dihayutkan dari hulu. Gantinya, warga pakai jalur alternatif lewat pematang dari satu kebun ke kebun lain.
Siti Maemunah, 80 tahun, cerita, dulu bila ingin ke Kota Bangkalan nonton karapan sapi. Rombongan berangkat tengah malam lewat lorong, melewati dua desa: Bilaporah dan Klobungan. Biasanya baru sampai ke Kota dini hari. Sambil menunggu tanah terang (pagi), mereka ngaso dengan rebahan di jalan aspal Klobungan. Mereka tidak takut ditabrak karena kendaraan belum ramai seperti sekarang. “Enakkan jalan di lorong, teduh, timbang alan aspal, panas,” kata dia.
Maemunah prihatin dengan kondisi lorong sekarang. Sejak ada jalan aspal, lorong jadi tempat buang sampah. sebagian besar lorong mendangkal termasuk lorong dekat rumahnya. Akibatnya, bila hujan deras turun, air meluap dan menggenangi halaman rumahnya. “Dulu lorong itu bersih, tiap pagi disapu takut ada duri bambu, sekarang jadi tempat sampah,” tutur dia.
Saya sendiri kelahiran Kabupaten Sumenep. Di Sumenep tak ada lorong seperti di Jaddih. Sebelum ada jalan aspal, bila ke sekolah saya lewat pematang sawah.
Rupanya, keberadaan lorong itu jadi acuan pemerintah bangun jalan, istilahnya: Di mana ada lorong, di dekatnya ada jalan aspal. Menurut saya, cara pemerintah ini keliru. Karena ada jalan asapl, lahan-lahan di sekitar lorong yang dulunya kebun dibangun rumah. Kehadiran manusia, membuat lorong jadi tempat buang sampah yang praktis. (ALMUSTAFA)
