JAKARTA-Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan seluruh permohonan terkait pengujian materiil frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Putusan dengan Nomor 21/PUU-XIII/2015 tersebut dimohonkan oleh Mantan Ketua DPR Setya Novanto. Namun demikian, tiga hakim konstitusi memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Manahan Sitompul dan Suhartoyo. “Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya. Frasa “pemufakatan jahat“ dalam Pasal 15 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, Pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana,” ucap Ketua MK Arief Hidayat di Ruang Sidang MK, Rabu (7/9).
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang membacakan pendapat Mahkamah, menyatakan frasa “pemufakatan jahat” untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor adalah rumusan delik yang tidak jelas dan multitafsir karena tidak memuat bentuk perbuatan secara cermat. Jika definisi pemufakatan jahat tidak diubah, akan berpotensi digunakan untuk menjerat siapapun yang berbincang untuk melakukan delik kualitatif meskipun orang-orang tersebut tidak mempunyai kapasitas tertentu yang ditentukan undang-undang.
Perumusan delik pidana perlu memenuhi syarat, yakni lex previa (tidak berlaku surut), lex certa (harus jelas), lex stricta (harus tegas), dan lex scripta (harus tertulis). Oleh karena itu, ketentuan a quo jelas merugikan bagi warga negara lantaran akan memperluas kewenangan penafsiran atas niat jahat yang sesungguhnya. Padahal, tidak semua subjek hukum memiliki kualitas untuk berbuat jahat atau dasar kualitas kewenangan yang dimilikinya. “Dengan demikian, kualitas yang disyaratkan dalam delik kualitatif adalah kualitas-kualitas yang secara hukum ditentukan dalam aturan pidana yang menyebabkan delik tersebut hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja. Kualitas-kualitas tertentu dapat berupa jabatan, kewenangan, profesi, pekerjaan, ataupun keadaan tertentu yang ditentukan terhadap subjek tertentu,” tuturnya.
Patrialis menjelaskan pemaknaan dan penafsiran kaidah norma “pemufakatan jahat” dalam norma a quo bertujuan untuk menguatkan dua hal. Pertama, memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat melalui seleksi normatif atau siapa saja yang menjadi subjek oleh norma hukum pidana. Kedua, mencegah terjadinya kesewenang-wenangan penegak hukum terhadap masyarakat. “Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka beralasan secara hukum permohonan Pemohon untuk dikabulkan bahwa Pasal 15 UU Tipikor sebatas berkaitan dengan frasa ‘pemufakatan jahat’ bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak ditafsirkan ‘dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana’;” urainya.
Sedangkan terkait frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 15 UU Tipikor, Patrialis menjelaskan frasa tersebut mencakup seluruh tindak pidana korupsi yang mempunyai unsur delik berbeda-beda. Penggunaan frasa “tindak pidana korupsi“ tidak dapat menjelaskan unsur delik dari Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 karena frasa tersebut hanya kata pengumpul dari berbagai delik yang diatur dalam UU Tipikor. Dengan demikian, frasa tersebut berpotensi melangar asas lex certa, lex scripta, dan lex stricta yang dapat melanggar HAM.
Untuk mencegah pelanggaran tersebut, Mahkamah berpendapat frasa “tindak pidana korupsi” harus ditafsirkan dengan “tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14” sehingga dapat memberikan pedoman yang jelas dan tegas tentang perbuatan yang dilarang (strafbaar) menurut undang-undang a quo.
Patrialis menjelaskan, subjek delik menunjuk kepada orang-orang yang melakukan tindak pidana, baik secara umum maupun yang mempunyai kualitas tertentu. Perbuatan yang dilarang (strafbaar) menunjuk pada bentuk perbuatan yang dilarang dengan rumusan yang jelas, sedangkan ancaman pidana memuat tentang perbuatan yang diancam serta jenis hukuman yang akan dijatuhkan. Dengan demikian, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 harus ditempatkan dalam bagian perbuatan yang dilarang bukan dalam bagian ancaman pidana. “Sehingga dalam praktik mengharuskan menyertakan “juncto” sebab pemufakatan jahat bukanlah delik yang berdiri sendiri,” tegas Patrialis.
Sementara itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, menilai seharusnya permohonan pemohon tidak dapat diterima karena kedudukan pemohon sebagai anggota DPR tidak memenuhi syarat.
Senada dengan Palguna, Hakim Suhartoyo menilai permohonan pemohon seharusnya ditolak karena merupakan masalah implementasi norma, bukan mengenai konstitusionalitas norma. “Apa yang dialami oleh Pemohon adalah adanya usaha dari pihak penyelidik yang mencoba mengedepankan ketentuan Pasal 15 UU Tipikor dari pada melakukan penyelidikan terlebih dahulu apakah ada delik-delik pokok yang ada pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor. Menurut saya, dapat disimpulkan bahwa yang dilakukan oleh Penyelidik dengan memanggil Pemohon mendasarkan pada ketentuan pada Pasal 15 UU Tipikor adalah merupakan persoalan implementasi norma, bukan inkonstitusionalnya Pasal 15 UU Tipikor. Oleh karenanya permohonan ini seharusnya dinyatakan ditolak,” terangnya.
Dalam permohonan Nomor 21/PUU-XIV/2016, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 15 UU Tipikor. Pemohon menjelaskan telah dijerat dengan pasal tersebut. Pemohon menilai bahwa pengertian tentang “pemufakatan jahat” dalam UU Tipikor tidak jelas dan berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi akibat penegakan hukum yang keliru. Pengertian “pemufakatan jahat”, menurut Pemohon, sesuai apabila diterapkan terhadap tindak pidana umum. Sebab, jika dipergunakan pula dalam tindak pidana khusus seperti pada UU Tipikor yang mensyaratkan kualitas tertentu, akan berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan sebagaimana yang saat ini secara nyata dialami Pemohon.