JAKARTA-Komisi Pemilihan Umum (KPU) berharap pembentuk Undang-Undang (UU) membuat peraturan khusus untuk mengatur tata cara penyelesaian sengketa pasangan calon kepala daerah. Peraturan perlu dibuat agar penyelesaian perkara di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) maupun Mahkamah Agung (MA) berjalan cepat dan tidak berlarut-larut. “Kami sangat senang apabila ada satu peraturan MA yang secara khusus mengatur tata cata penyelesaian sengketa TUN, baik pembatasan objek, legal standing, kerangka waktu, dan prosedur mekanisme beracara,” kata Ketua KPU RI Juri Ardiantoro saat membuka Lokakarya KPU bersama Bawaslu, DKPP, MA, PT TUN Surabaya, PT TUN Medan, dan PT TUN Makassar, dalam Persiapan Penyelesaian Sengketa TUN Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota di di gedung KPU, Jakarta Pusat, Kamis (8/9).
Lokakarya tersebut bertujuan untuk membangun pemahaman yang sama untuk efektifitas penyelesaian sengketa TUN dan Penegakan hukum pemilihan umum, terutama di daerah-daerah yang rawan terindikasi sengketa Pilkada
Selama ini, lanjutnya, pasangan calon yang bersengketa tidak dibatasi soal objek perkaranya. Sebab, di undang-undang tidak diatur secara jelas.
Belum lagi dalam pembuktiannya banyak pihak berperkara membawa banyak bukti dan saksi. Hal tersebut dinilai dapat memperpanjang waktu. “Apalagi, PT TUN hanya dibatasi 15 hari,” tambahnya.
Berdasarkan evaluasi penyelenggaraan pilkada serentak 2015, terdapat lima daerah yang mengalami penundaan pemungutan suara, karena melaksanakan putusan Pengadilan TUN (PTUN) dan Pengadilan Tinggi TUN (PT TUN).
Kelima daerah tersebut yaitu Provinsi Kalimantan Tengah, Kota Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun, Kota Manado, dan Kabupaten Fak fak. Putusan tersebut diterbitkan menjelang hari pemungutan suara, sehingga diluar kerangka waktu penyelesaian sengketa TUN. Selain itu, penyelesaian sengketa pencalonan untuk pilkada Kota Pematang Siantar diperiksa dan diputus oleh PTUN yang menurut UU Nomor 1 Tahun 2015 tidak memiliki kewenangan. Karena itu, perlu dibangun pemahaman yang sama dalam efektifitas penyelesaian sengketa TUN.
Dia berharap pembentuk UU melakukan perubahan untuk mengatur kerangka waktu penyelesaian sengketa TUN menjadi lebih singkat, serta mengatur kewajiban KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota menindaklanjuti putusan yang tidak melewati tahapan, paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara.
Selain itu, ketentuan pasal 154 UU Nomor 10 Tahun 2016 juga menegaskan terminologi hari adalah hari kerja. “Untuk itu, kami mengundang MA, PT. TUN, Bawaslu, dan DKPP, untuk mendiskusikan apa yang diatur dalam norma-norma baru UU Nomor 10 Tahun 2016 dan teknis penyelesaian sengketa TUN. Kita harus bisa melihat kerangka penyelesaian tahapan ini dalam penyelenggaraan pilkada serentak 2017, sehingga tidak ada lagi penyelesaian sengketa pilkada yang berlarut-larut,” ujar Juri. (Angga Bratama)