Oleh: Fauzi Sukri*
Dalam beberapa tahun terakhir, orang Indonesia mendapati dua MU. Yang satu sudah terkenal sejagat, yakni Manchester United dari Inggris; yang satu dikenal se-Indonesia saja, yakni Madura United. Dua klub sepak bola ini tidak hanya sama-sama menggunakan singkatan ‘MU’, namun juga memiliki kesamaan dalam jersey yang dipakai yang sering didominasi warna merah.
Banyak orang yang mungkin tak begitu menggubris perihal kesamaan dua klub itu. Namun, jika kita membaca buku Iswandi Syahputra, Pemuja Sepak Bola: Kuasa Media atas Budaya, kita akan mendapatkan penjelasan yang menarik dan mencerah. Menurut Iswandi (halaman 38), penyamaan akronim Madura United (MU) dengan Manchester United (MU) adalah hasil dari pola pikir mimikri (meniru) dalam sebentuk hibriditas kebudayaan dan identitas gaya yang menjadi segalanya saat ini.
Dengan menggunakan nama MU, ada harapan bahwa MU di Madura bisa juga berprestasi seperti MU di Inggris. Di sini, sebagaimana dijeleaskan Iswandi, budaya dominan (budaya Eropa) digunakan untuk mengangkat budaya lokal, tanpa begitu terikat atau dikuasai oleh budaya dominan. Orang barangkali akan terkesan melihat kesamaran budaya, namun justru itulah yang diperlukan dalam industri budaya seperti sepak bola dalam menjalankan misinya.
Sama seperti perjanjian Tordesilas Spanyol tahun 1494 yang termasyhur itu untuk melancarkan misi Paus Alexander VI, sepak bola sebagai hasrat budaya juga mempunyai tiga misi yang hampir serupa: goal, gold, glory. Dalam sebuah pertandingan, sebuah gol bukan hanya peristiwa satu bola masuk ke gawang. “Sebuah goal,” kata Iswandi (halaman 17) “merupakan kejadian kecil yang mendorong lahirnya peristiwa besar. Sebuah goal yang terjadi di lapangan merupakan sebuah ledakan ke dalam (implosif), sebagai sebuah tanda untuk meraih glory dan gold.”
Itulah kenapa, perayaan glofikasi sebuah gol tidak hanya dinikmati sang penceplos gol atau pelatih, tapi bahkan dinikmati dan dirayakan sebuah seluruh fans di seluruh dunia, bahkan oleh satu negara-rakyat. Seluruh dunia bisa bersorak bersamaan! Gol demi gol yang tercipta adalah sebuah gerak sistematis, mengumpulkan poin demi poin, menggerakkan satu tim untuk terus maju atau mundur, dan akhirnya menggerakan ratusan, ribuan, bahkan jutaan umat sepak bola untuk berada di sisi sang pemain dan timnya. Secara umum, pemain plus tim yang paling banyak mencetak gol, hampir dapat dipastikan bakal menjadi sang juara. Dan itu artinya, gold dan glory sedang diraih, bersama jutaan fans yang bakal semakin fanatik.
Salah satu yang bentuk fanatisme bersepak bola adalah jersey. Dunia manusia memang sudah begitu lama berurusan dengan lembar pakaian, yang khususnya mendapatkan sakralitasnya dari pemikiran agama. Namun, dalam jagat sepak bola, sakralitas itu mendapatkan pemaknaannya dari nilai history yang memuat banyak story. Kisah (story) membentuk history (sejarah) yang membuat satu jersey bisa bernilai jutaan bahkan miliaran rupiah dan bakal diburu ke manapun oleh seorang fans fanatik untuk dimiliki. Hal ini sama dengan kisah jubah dalam tradisi mistik sufi baik dalam Islam atau Kristen.

Salah satu jersey legendaris historis yang banyak diincar dan diburu adalah jersey away MU tahun 1995. Saat itu, 25 Januari 1995, terjadi laga tandang MU malawan Crystal Palace. MU mengenakan jersey away berwarna hitam. Pemain MU Eric Cantona baru saja diusir oleh wasit, Alan Wilkie yang memimpin pertandingan. Cantona diusir keluar lapangan karena melakukan pelanggaran keras terhadap pemain bertahan Crystal Palace, Richard Shaw. Saat keluar lapangan menuju kamar ganti, di pinggir lapangan Cantona diteriaki seorang suporter Crystal Palace, Simmon Mathews. Spontan Cantona melompat papan skor dan menerjang Mathews. Tendangan tersebut dikenal sebagai tendangan kungfu Cantona. Jersey ini adalah sebentuk fanatisme bersepak bola.
Tentu saja, fanatisme bersepak bola secara global dengan aliran dana bertriliun-triliun dolar tiap musim bukan saja disebabkan asyiknya bermain sepak bola. Kita tahu, sepak bola benar-benar membumi sejagat baru setelah Perang Dunia ke-2, khususnya setelah kehadiran sang kotak mukjizat: televisi. Sejak saat itu, selebrasi satu gol bisa masuk ke rumah-rumah rakyat di seluruh dunia. Terjadilah pertarungan dan perebutan politik, budaya, agama, kapital di lapangan hijau. Sepak bola menjadi tontonan wajib bagi umat manusia bola, yang terbanyak di jagat planet ini, mengalahkan agama apapun di dunia. Dan itulah alasan ada MU di Madura.
*)Koordinator Tadarus Buku di Bilik Literasi Solo