Cerpen: Arrum Lestari
PENYESALAN sering menjelma menjadi teman karib. Berpura-pura baik. Kemudian menumbuhkan dirinya dalam benak seseorang. Menjadikannya inang. Untuk terus bertahan, penyesalan mengisap kebahagiaan, sebagaimana benalu mengisap sari pati inangnya—hingga kering—awal mula semua malapetaka.
Sarananda bertahan hidup, berbekal takdir, bersemangatkan masa lalu, yang pernah indah seperti pelangi, yang ketika ia hilang suatu saat akan kembali. Tanpa disadari teman karib Sarananda tumbuh menjadi kebencian. Dan kebencian itu akan berbuah dendam di kemudian hari. Maka, ketika gelap mulai menyelimuti, Sarananda bersembunyi di balik meja bartender dan menuangi gelas-gelas kosong yang disodorkan tamu-tamunya.
“Bisa kau ceritakan bagaimana kau bisa betah berada di sini?” tanya seorang pemuda suatu ketika.
Sarananda pura-pura tak mendengar. Malah menuangi gelas kosong yang digenggam si pemuda. Tentu saja Sarananda sebenarnya tidak tertarik menjawab pertanyaan itu. Kesadaran si pemuda sedang melayang, seperti bola yang melambung, kemudian menggelinding saat kembali ke tanah, sulit ditangkap. Menjawab pertanyaan si pemuda akan sama dengan mencabut sehelai akal sehat dari kepala. Setelahnya sesal akan datang. Andai Sarananda membiarkan, penyesalan itu dapat mengisap kebahagiaan sampai habis tak bersisa.
Pemuda itu diam. Seperti tertidur. Kepalanya bertumpu di atap meja bartender. Dengan mata sedikit terbuka, bola hitamnya tampak separuh tenggelam ke atas. Sarananda iba. Hanya iba. Iba yang bertahan sekian detik hingga menit saja. Selebihnya Sarananda sibuk dengan tamu-tamu lainnya.
Tetapi ketika sepi menghampiri, Sarananda kembali terngiang akan pertanyaan si pemuda. ‘Bagaimana? Bagaimana aku bisa betah berada di sini? Tempat yang orang anggap kotor. Kotor? Apakah tempat ini kotor?’
Tempat itu tidak kotor. Tempat itu memang ramai dikunjungi, tetapi kebersihannya terjaga. Orang-orang yang datang selalu rapi, wangi dan yang pasti duitnya banyak.
Tamu-tamu Sarananda tak pernah tahu setiap tetes anggur yang dituang itu berisi ribuan kebencian dan jutaan dendam Sarananda. Benci dan dendam itu terlarut, memberi citarasa, begitu menggoda, juga mencandui. Maka Sarananda makin gemar menuangi gelas-gelas kosong yang disodorkan tamu-tamunya. Makin banyak gelas yang bisa ia tuangi, tawa Sarananda makin lebar. ‘Apakah ini yang membuatku betah di sini?’
“Setiap kali tamu datang, kamu harus bersiap mengumbar bujuk rayu. Tak lain tak bukan agar tamu-tamu itu segera mengambil gelas-gelas kosong dan mengacungkannya kepadamu. Tugasmu mengambil botol. Lalu menuang. Begitu seterusnya sampai tamu-tamu itu habis,” demikian perintah atasan yang sudah Sarananda hapal di luar kepala.
Di sela-sela upaya membujuk tamu-tamunya, Sarananda sempat berpikir kembali tentang pertanyaan pemuda itu. ‘Bagaimana? Bagaimana aku bisa betah berada di sini? Tempat yang orang anggap kotor. Kotor? Apakah tempat ini kotor?’
Sarananda memang tak bisa menjelaskan meski kepada dirinya sendiri. Malam-malamnya begitu gelap sejak ribuan malam lalu. Ia tak lagi bisa melihat, sekalipun dengan mata membelalak. Menyebabkan dirinya tersesat. Tak tahu arah. Tah tahu tujuan. Sarananda tidak punya penjelasan apa-apa.
Yang ia ingat, saat itu kampung halamannya dilanda kekeringan. Padi dan sayur mayur di ladang orangtuanya tak berbuah. Gagal panen. Orangtuanya putus asa. Sarananda tak terurus. Sarananda tak menyalahkan orangtuanya. Sarananda terus berusaha dan berdoa agar diberi kemudahan. Ia mencari makan dengan caranya sendiri. Ia datang dari rumah ke rumah. Tentunya rumah orang kaya. Sarananda menawarkan jasa cuci piring. Dan cuci baju.
Di suatu rumah, Sarananda bertemu dengan seorang tuan muda. Orangtuanya kaya. Sibuk. Dan jarang pulang. Si tuan muda kesepian. Sehari-hari hanya bermain dengan anjingnya yang menyalak-nyalak. Sampai suatu ketika anjing itu bosan dan meninggalkan sang tuan. Tuan muda panik. Dan sungguh malang, malam itu Sarananda terpaksa dijadikan anjing betina oleh tuan muda yang kesepian.
***
Di malam-malam berikutnya, saat Sarananda beranjak remaja, ia kembali mendatangi rumah-rumah mewah. Semangatnya membara, sehebat api yang seakan tak pernah padam. Tetapi bukan untuk menawarkan jasa cuci piring atau cuci baju. Sarananda mencari tuan muda yang menghilang sejak malam itu.
Sarananda mengendusi rumah-rumah mewah, mencari jejak tuan muda. Tak berbilang jumlah tuan-tuan yang ia kunjungi dengan hasrat yang menyalak-nyalak demi menemukan tuan muda. Sarananda tak pernah lelah. Tak kenal menyerah. Menolak pasrah.
Apakah di sini? Sarananda mengetuk pintu dan mendapati tuan yang galak. Apakah di situ? Sarananda mengetuk pintu lagi dan mendapati tuan yang genit. Apakah di sana? Sarananda kembali mengetuk pintu lalu mendapati tuan yang manja. Tetapi tuan-tuan itu bukan tuan muda yang pernah ia kenal.
Sarananda yakin, dengan penciumannya yang tajam ia hapal betul aroma tubuh tuan muda. Ia tahu persis bagaimana tuan muda itu pernah memperlakukan dirinya. Bahkan Sarananda tak bisa melupakan saat-saat tuan muda menyentuh dirinya dengan lembut seolah tak ingin melukai.
Perjalanan itu terus berlanjut hingga membawa kaki Sarananda sampai di tempat ini. Yaitu rumah mewah bersusun-susun yang selalu benderang di malam hari. Rumah itu seolah-olah diciptakan untuk menghibur malam-malamnya yang gelap.
Lelaki paruh baya datang. Celana jeans longgar berpadu kaus putih berleher rendah hingga memperlihatkan kalung emasnya, menyeringai begitu jumawa. Tak kurang dari lima biji batu mulia mahal menghias jemarinya. Juragan Mim, orang-orang menyebutnya. Tetapi Juragan Mim menyebut dirinya ‘Mas Mim’ di depan Sarananda.
Mas Mim memberinya segelas minuman. Tubuh Sarananda menghangat. Sama seperti hari-hari Sarananda kemudian. Benar, Sarananda tak lagi kedinginan di luar, berpindah dari rumah ke rumah. Mencari tuan muda. Mengendusi setiap hidung laki-laki.
Sarananda sedikit memiliki leluasa untuk bertampil layaknya manusia. Memiliki berbagai perhiasan, mendapat tiket jalan-jalan, menginapi hotel mewah secara cuma-cuma, dan mendapat apa saja yang diinginkan. Sarananda baru menyadari, betapa Tuhan tak pernah ingkar janji. Tuhan sedang menjawab doa-doanya bertahun lalu, saat hidupnya dan seluruh keluarga terpuruk, serba kekurangan, terlunta-lunta. Sarananda tidak merasa terlambat, malah tetap berterima-kasih atas permintaan-permintaan yang mulai dikabulkan.
***
Jadi, bagaimana aku bisa betah berada di sini? Tempat yang orang anggap kotor. Kotor? Apakah tempat ini kotor? Kepala Sarananda begitu pusing melihat gelas-gelas kosong di hadapannya menari-nari. Tidak seperti biasa. Baginya, tarian itu begitu lembut, mengikuti musik yang mengalun. Yaitu musik yang mengungkapkan isi hatinya. Sunyi dan gelap.
Sarananda mulai menari-nari, hingga kesadarannya perlahan pergi. Segala perasaan yang pernah mengendap di dada ikut meninggalkannya. Tak hanya rasa duka yang turut lenyap, bahkan kebahagiaan yang dimilikinya mulai habis seolah diisap oleh benalu yang hinggap di tubuhnya. Sampai di suatu gerakan yang ia tidak tahu pangkal mulanya, tubuh Sarananda tersentak. Matanya membelalak, menyadari bahwa dirinya telah menemukan jawaban atas pertanyaan si pemuda, ‘Bagaimana aku bisa betah berada di sini? Bagaimana aku bisa betah berada di sini?’ Kalimat itu terus terucap tanpa suara.
Sarananda bangkit. Menghentikan tariannya. Berlari ke bilik-bilik dan mencari tempat di mana pemuda itu dibaringkan. Tubuhnya yang sempoyongan masih bisa mendeteksi betapa kotornya bilik-bilik itu. Sangat menjijikkan. Seperti kandang anjing yang tak pernah dibersihkan sang majikan. Yang lebih mengerikan, sesekali telinga Sarananda mendengar dengusan kencang persis seperti anjing yang kehabisan nafas di dalam bilik-bilik itu. [*]
Kab. Semarang, September 2016
*)Lahir di Suruh, Kabupaten Semarang pada 1984. Menulis buku praktis/tutorial dan menulis fiksi.