
SUMENEP – Di kalangan seniman, nama Turmudzi Djaka tidak asing. Tapi pria ini tidak seperti seniman pada umumnya. Di tengah kesibukannya sebagai pengelola lembaga pendidikan, ia menciptakan batik tulis motif kontemporer.
Meskipun sederhana, melalui ketelatenan dan ketekunan yang dimiliki, saat ini telah banyak menciptakan motif batik baru yang nuansanya tidak kalah saing dengan motif batik bertaraf nasional, seperti yang gemar dilakoni para pengusaha batik di Pekalongan, Jawa Tengah. Bahkan hasil kreativitasnya juga banyak diterima di kalangan elite di kancah nasional.
“Karena produk yang kami hasilkan sangat terbatas, fokus pemasarannya hanya di Surabaya dan di Jakarta,” kata Turmudzi Djaka, Senin (5/9/2016).
Menurut pria yang saat ini tinggal di Desa Pragaan Laok, Kecamatan Pragaan, itu salah satu motif batik kontemporer yang telah diterima kalangan elite birokrasi maupun politisi diberi nama ‘Arah Naga Taresna’.
Baginya, motif batik ini termasuk jenis motif batik yang sangat sulit. Selain membutuhkan ketelatenan, juga membutuhkan kesabaran yang tinggi. Motif tersebut terdiri dari berbagai warna dan lukisan yang beranekaragam, serasi dan halus. Orang yang memakai hasil karyanya tersebut diyakini akan merasa nyaman dan indah dipandang oleh semua kalangan.
“Jenis motif ini termasuk motif yang rumit dibandingkan motif yang lain. Untik menyelesaikan satu garapan diperkirakan membutuhkan waktu selama tiga hari,” jelasnya.
Sementara ciri khas batik yang dihasilkan ada empat macam, yakni torehan siung, retak, rayap, dan okel (sejenis siput).
Dalam mengembangkan kualitas membatik yang ditekuni, Turmudzi mengaku bekerjasama dengan desainer nasional Leni Agustin, juga Inez Ayutiyaz, desainer Surabaya. Dan yang paling penting, katanya, dalam mengembangkan usaha batik itu, tak pernah dirinya meminta bantuan dalam bentuk apapun kepada pemerintah, khususnya Pemkab Sumenep.
Kendati demikian, semangat untuk merawat budaya yang telah diwarisi oleh kaum terdahulu tetap dipertahankan. Karena bagi kaum terdahulu, terutama di kalangan ulama besar, membatik dijadikan alat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Saat tangan membubuhkan pewarna di atas kain, saat itu pula hati membisikkan nama Tuhan.
“Bagi ulama terdahulu, membatik diibaratkan tasbih saat berdzikir pada era ini. Sambil membatik semalaman, sebenarnya ia juga berdzikir,” tegasnya.
Untuk mengenalkan semua hasil karyanya, ia mengikuti berbagai pameran budaya, baik tingkat lokal, nasional hingga internasional. Salah satu pameran yang diikuti adalah pameran budaya RASIA forum di Rusia pada 24 Juni 2013 lalu. Selain itu, dalam waktu dekat pihaknya juga bakal mendirikan galeri batik. Rencananya akan ditempatkan di Desa Aeng Panas, Kecamatan Pragaan. (JUNAEDI/ RAHMAT)