Oleh: Fathor Rahman Jm*
Sejak ditangkap terkait kasus dugaan pembunuhan pada Kamis (22/9/2016) lalu di padepokannya di Dusun Cangkelek, Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, sosok Dimas Kanjeng Taat Pribadi sangat ramai diperbincangkan dan menjadi viral di media sosial. Sosok Taat Pribadi yang kontroversial, misterius dan enigmatik ini tidak jarang mengundang pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Di mata pengikutnya, Taat digambarkan sebagai pribadi yang taat pada ajaran agama (Islam), dermawan, saleh, bahkan sufi.
Sebaliknya, bagi mayoritas masyarakat, apa yang dipraktikkan Taat Pribadi ini sama sekali tidak menunjukkan sikap taat pada aturan-aturan sosial. Di sini dapat diamati bahwa fenomena Taat Pribadi ini menunjukkan adanya anomali sosial di tengah-tengah masyarakat.
Taat Pribadi
Terdapat beberapa fakta artifisial yang menjadi sebab selalu terpelihara dan bahkan meningkatnya pengaruh Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Pertama, Taat Pribadi mengesankan dan menjaga gambaran sosok dirinya sebagai orang suci atau sufi. Hal ini dinyatakan oleh banyak pengikutnya bahwa jangankan sampai membunuh manusia, menyakiti nyamuk dan semut saja Kanjeng Taat Pribadi tidak pernah melakukannya. Fakta ini membuat tidak sedikit pengikut Taat Pribadi yang menyatakan tidak percaya bahwa Taat adalah otak pembunuhan dua mantan pengikutnya, Abdul Ghani dan Ismail Hidayah.
Kedua, Taat Pribadi dikenal sebagai seorang dermawan. Kesan ini selalu diproduksi secara rutin untuk menjaga reputasi Taat dengan cara selalu melaksanakan kegiatan santunan terhadap fakir miskin, anak yatim, dan tetangga sekitarnya.
Ketiga, Taat Pribadi juga memiliki gelar raja. Gelar tersebut diperolehnya secara resmi dari Asosiasi Kerajaan dan Kesultanan Idonesia (AKKI) dengan prosesi jumenengan atau penobatan pada Senin, 11 Januari 2016 silam. Dia resmi menjadi Raja Anom dengan gelar Sri Raja Prabu Rajasa Negara. Raja Anom adalah jabatan kebangsawanan yang sebelumnya turun temurun didapatkan oleh raja-raja Majapahit.
Empat, dalam setiap “tausyiahnya”, Taat selalu menyerukan nilai-nilai luhur keagamaan, seperti sabar, ikhlas, selalu berbuat baik kepada sesama, memaafkan kesalahan orang lain, jangan membalas keburukan orang lain dengan keburukan, selalu bersedekah dan membantu orang lain, dan seterusnya.
Lima, Dimas Kanjeng diyakini sebagai orang sakti yang memiliki “kemampuan gaib” dalam “memproduksi” atau menggandakan uang. Kemampuannya ini seperti dengan sengaja dipromosikan oleh Taat Pribadi dengan cara merekam prosesnya dan meng-upload-nya ke media sosial, sehingga kemampuan itu dapat diketahui oleh masyarakat luas. Ini tentu membuat banyak orang tergiur untuk mengikutinya.
Terakhir, pengikut Taat Pribadi ternyata berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Mulai dari petani, tukang becak, pedagang, hingga pengusaha. Mulai dari kalangan umum, artis, pejabat, hingga intelektual. Bahkan yang menjadi ketua yayasan Dimas Kanjeng Taat Pribadi adalah salah satu pengurus Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Profesor Doktor Marwah Daud. Marwah bukanlah orang sembarangan di republik ini. Reputasinya sebagai intelektual dan akademisi tidak terbantahkan.
Fakta-fakta itu tentu menjadi sugesti dan penarik bagi banyak orang untuk menjadi pengikut Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Bagi pengikutnya, eksistensi Taat Pribadi diyakini sebagai berkah bagi bangsa Indonesia, dan dianggap mampu “mengevakuasi” para pengikutnya dari ganasnya kemiskinan. Meskipun, pada kenyataannya keyakinan tersebut tidak kunjung nyata.
Taat Pribadi tidak Taat Sosial
Fenomena Taat Pribadi ini sebenarnya ironi di tengah semakin meningkatnya peradaban dan rasionalitas dalam pemikiran dan keberagamaan masyarakat Indonesia. Saat ini di masyarakat kita, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus melaju dan menjadi arus utama. Namun ironisnya di tengah laju itu, ternyata masih ada fenomena praktik anomali yang diamini oleh kalangan intelektual dan orang-orang berpendidikan.
Jika dicermati dari aspek sistem ekonomi, praktik “penggandaan” uang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Seandainya pun uang hasil praktik pelipatgandaan tersebut adalah uang asli, tetap tidak dibenarkan. Sebab, hakikat uang adalah alat tukar yang jumlah cetaknya adalah tertentu dan sesuai dengan produktivitas warga negara.
Apabila uang yang beredar melebihi tingkat produktivitas masyarakat, maka hal itu tentu akan memicu inflasi yang akan menyebabkan harga barang meningkat sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat pada umumnya. Jika hal itu benar dan terjadi, maka praktik penggandaan uang tersebut dapat dikatakan sebagai biang krisis di tengah-tengah masyarakat. Itu bersifat destruktif dan tidak boleh dibiarkan.
Kemungkinan lain praktik penggandaan uang tersebut ialah dengan bantuan mahluk gaib dengan cara memindahkan uang asli dari suatu tempat ke tempat yang diinginkan. Tentu hal yang seperti ini dapat dikategorikan sebagai pencurian dan merupakan tindakan kriminal yang harus diusut secara hukum, apalagi misalnya uang hasil penggandaan tersebut palsu. Semua itu menunjukkan tindakan yang tidak taat pada aturan-aturan sosial.
Ditilik dari perspektif agama, banyaknya masyarakat yang tergiur dengan iming-iming uang dan materi yang melimpah menunjukkan banalitas keberagamaan masyarakat. Telah terjadi pendangkalan penghayatan masyarakat terhadap agamanya. Kalaupun uang yang mereka serahkan kepada Taat Pribadi bisa bertambah berlipat-lipat, dalam term agama, uang kelebihan itu adalah uang yang tidak jelas status hukumnya atau bahkan haram.
Dalam Islam misalnya, kepemilikan akan harta (termasuk uang) sah hanya jika didapatkan dengan cara-cara yang sah, seperti dengan berniaga, bekerja, bertani, dari hadiah, hibah, waris, dan lain sebagainya. Kepemilikan harta dengan cara-cara yang tidak jelas akan menjadikan status harta syubhat bahkan haram, yang tentu saja tidak diizinkan dalam ajaran agama, termasuk agama Islam. Sebab itu, praktik yang dilakukan Taat Pribadi itu tidak sejalan dengan ajaran dan etika Islam.
Karena itu, fenomena Taat Pribadi ini harus mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Fenomena ini harus dikaitkan dengan kondisi frustasi sosial, di mana di satu sisi masyarakat dijejali dengan iklan-iklan dan pola-pola hidup konsumeris melalui media, sedangkan di sisi lain masyarakat sangat sulit untuk mendapatkan penghidupan yang layak karena keterbatasan sumberdaya, lapangan pekerjaan, dan struktur ekonomi yang menghimpit mereka. Di antara mimpi-mimpi hidup enak dan keterbatasan, masayarakat akan dengan mudah terperangkap dalam jaring-jaring penipuan. Wallahu a’lam. (*)
* Penulis adalah pengamat sosial politik, Pengurus LTNU Cabang Jember