SAMPANG, koranmadura.com – Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (Dispendaloka) Kabupaten Sampang menyatakan penarikan pajak hasil pertambangan telah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Landasan yang dipakai UU Nomor 28 Tahun 2009 dan UU Nomor 4 Tahun 2009 yang menjelaskan mengenai pajak mineral bukan logam dan batuan serta merupakan jenis pajak kabupaten. Dalam aturan itu kemudian ada perubahan nama menjadi pertambangan mineral bukan logam dan batu bara dengan besar pajak yang dikenakan sebesar 25 persen.
“Kata siapa pajak pertambangan yang kami tarik itu pungli. Kami lakukan penarikan pajak sudah sesuai dengan aturan yang berlaku,” terang Kabid Pendapatan Dispendaloka Moh Zurqoni saat ditemui di ruangannya, Rabu, 19 Oktober 2016.
Baca: Penarikan Retribusi Galian C Ditengarai Pungli
Setahunya, dalam aturan itu menyebutkan bahwa perhitungan penarikan pajak didapatkan dari volume penjualan dikalikan dengan hasil penjualan hasil tambang. Dan jenis pajak yang ditimpakan kepada para penambang yaitu pajak jenis Self Assesment dengan anggapan bahwa pemilik lahan pertambangan diberi kebebasan dengan kewajiban melaporkan semua aktivitasnya kepada pemerintah daerah.
“Dalam ruang lingkup pajak, itu mempunyai aturan tersendiri sama halnya dengan pajak kendaraan bermotor. Seperti contoh kasus pembayaran tol, tidak setiap kendaraan harus mempunyai surat izin mengemudi untuk menarik pajak tol, tidak kan,” paparnya.
Tidak hanya itu, pihaknya juga membeberkan hasil penarikan pajak dari sektor pertambangan. Pada tahun 2015, target pajak yang ditetapkan sebesar Rp 1,3 miliar dengan capaian realisasi sebesar Rp 1,8 miliar dari seluruh aktivitas pertambangan yang ada di Sampang.
“Sekali lagi kami tegaskan, pertambangan termasuk galian c itu ada peraturan yang berlaku untuk penarikan pajaknya. Dan untuk tahun 2016, target kami sebesar Rp 1 miliar,” pungkasnya.
Menanggapi hal itu, Pegiat Pencinta Lingkungan, Alan Kaisan mengatakan,
meski telah mengacu pada UU pajak, pemerintah daerah tidak pernah mempunyai kejelasan perhitungan penarikan pajak di semua titik pertambangan.
Terbukti, pada tahun 2015 lalu, Dispendaloka hanya membeberkan 3 lokasi petambangan yang resmi dilakukan penarikan pajak. Sehingga beberapa titik lainnya tampak abal-abal dan hanya dijadikan ladang pungli.
Sebab menurut perhitungannya, rata-rata hasil penambangan galian C di satu titik seperti di Desa Gunung Maddah, Kota Sampang sebanyak 100 dump truk tanah yang keluar dengan harga Rp 60 ribu per dump truk.
Jadi per hari di satu titik tambang berpotensi menghasilkan sebesar Rp 6 juta. Sehingga potensi dari sebanyak 25 titik tambang mengasilkan sebesar Rp 150 juta per hari. Sedangkan per tahunnya mendapatkan Rp 150 juta x 30 hari = Rp 4.500.000.000 per bulan atau selama setahun mendapatkan Rp 54 miliyar.
“Kalau pajaknya 25 persen ya jadinya Rp 13.500.000.000. Dan nilai itu jauh dari PAD yang masuk di tahun 2015 lalu yang hanya sebesar Rp 1,8 miliar,” tegasnya. “Lantas lari ke mana selisihnya uang miliaran rupiah itu,” tanyanya.
Ditambahkan aktivis lainnya, Tamsul, mengatakan, Dispendaloka diduga tidak melakukan penghitungan dengan jelas. Hal itu dikarenakan pihak Dispendaloka menutup-nutupi kejelasan penghitungan persentase penarikan pajak meski pada tahun 2015 sudah melebihi target PAD.
“Persoalan ini telah diatur di UU No 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah. Jadi penarikan pajak itu harus didasarkan pada objek pajak yang jelas. Sedangkan Dispendaloka hanya mampu membeberkan 3 dari 25 objek pajak tambang,” terangnya.
“Selama ini pula penghitungan objek pajaknya tidak jelas, sehingga tidak menutup kemungkinan di situ ada unsur gratifikasi dan pungli. Dan ada kemungkinan, bukan hanya pihak Dispendaloka yang bermain di lingkaran mafia tambang ini,” curiganya. (Muhlis/MK)
