Jangan sekali-kali melupakan sejarah, pekik Bung Karno. Karena dengan sejarah, dapat dipelajari untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu. 51 Tahun sudah peristiwa berdarah Pemberontakan G-30S/PKI berlalu. Bagi rakyat Indonesia pasti peristiwa ini sudah tidak asing lagi. Karena banyak memori yang membekas dalam ingatan yang disebabkan oleh kesadisannya.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi adanya Pemberontakan G-30S/PKI ini. Namun yang menjadi faktor utamanya adalah pada masa pemerintahan demokrasi terpimpin semua lembaga negara harus bercirikan NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Kebijakan yang dicetuskan Bung Karno ini menjadikan adanya penyelewengan terhadap pancasila dan UUD 1945. Tentu ini kebijakan yang fatal sekali kesalahannya karena pancasila dan UUD 1945 merupakan landasan dan dasar negara Indonesia.
Ditetapkannya manipol sebagai satu-satunya revolusi di Indonesia, akhirnya dimanfaatkan oleh PKI untuk mengesampingkan pancasila dan menomorsatukan faham komunis di Indonesia. Hal ini merujuk pada perkataan pimpinan PKI, D.N. Aidit yang pada intinya pancasila hanyalah pemersatu bangsa, apabila sudah bersatu maka pancasila tidaklah berlaku lagi. Jadi sudah jelas bahwa PKI mempunyai niatan untuk menggeser pancasila dengan dasar-dasar faham komunisme di Indonesia.
Berbicara tentang PKI, maka tidak lepas dari sosok pemimpin yang sekaligus pendirinya, yaitu D.N Aidit. Dia adalah motor penggerak di dalam tubuh PKI. Kontribusinya dalam PKI pun tidak bisa dipandang sepele. Dari menyusun strategi pemberontakan hingga dalang di balik terbunuhnya 7 petinggi TNI pada saat itu.
Tentu saja hal ini mencuatkan anggapan bahwa PKI itu kejam. Bahkan setelah peristiwa ini selesai dan 51 tahun sudah berlalu masih saja menimbulkan rasa kebencian terhadap PKI sampai ke anak keturunan para eks dan simpatisan PKI. Padahal yang berperan pada peristiwa pemberontakan itu adalah para orang tua mereka. Kenapa dendam ini masih turun ke anak keturunan para eks dan simpatisan PKI?
Dari sekian banyak anak keturunan para eks dan simpatisan PKI, yang sering menuangkan seklumit kisah hidupnya adalah Ilham Aidit. Beliau adalah salah seorang anak dari pendiri PKI, D.N Aidit. Pada saat pemberontakan terjadi, beliau masih berusia 6.5 tahun.
Kisah Hidup
Sebagai anak seorang penggede PKI, tentu saja ada perlakuan tidak menyenangkan bahkan diskriminasi dari berbagai pihak. Dari masalah kebebasan bermasyarakat dan pertidaksamaan perlakuan di ranah hukum. Karena masih banyak anggapan negatif tentang PKI yang notabene merupakan dalang pemberontakan G-30S ini. Imbas kebenciannya pun sampai menurun ke anak turunannya.
Untuk kebebasan berserikat dan berkumpulpun mereka masih sering mendapat batasan bahkan didiskriminasi karena dikhawatirkan akan berpotensial untuk menghimpun kekuatan kembali serta membangkitkan jiwa-jiwa komunisme lagi. Akan tetapi, untuk orang seusia Ilham Aidit mungkin sudah tidak akan memikirkan hal tersebut.
Namun yang lebih berpotensial lagi adalah para remaja usia produktif yang masih ada sangkut pautnya dengan eks simpatisan dan keturunan PKI. Mereka yang masih produktif dan mempunyai semangat yang menggebu-gebu digadang-gadang akan menumbuhkan jiwa-jiwa komunisme lagi namun dalam wadah yang lain, dalam hal ini tidak menggunakan wadah PKI seperti para pendahulu mereka.
Hal tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan ancaman bagi intregrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena beda sekali ideologi yang dianut oleh Indonesia. Itu merupakan contoh kecil dari keturunan PKI. Menurut Ilham Aidit, ideologi komunis ini belum tentu dianut oleh anak-anaknya. Karena mereka lebih condong untuk menolong kaum-kaum yang termarjinalkan. Mereka yang biasa mendapat perlakuan yang beda akhirnya tumbuh rasa seperti itu dan lebih cenderung dengan faham marxisme. Kemudian dianggap sebagai awal kembalinya komunis baru. Padahal itu tidak ada hubungannya sama sekali.
Dilihat dari segi perekonomian, para eks simpatisan dan keturunan PKI pun banyak yang berada di strata menengah ke bawah. Bahkan ada yang di bawah garis kemiskinan. Mereka yang masih hidup dan masih bisa berbicara dengan jelas sekitar 3000-4000 orang. Apabila mereka menikah dan mempunyai anak, tentu akan berlipat-lipat angkanya. Signifikan sekali angka itu, kebanyakan mereka menutup diri karena trauma. Karena mereka mengira bahwa setelah reformasi, intimidasi dan diskriminasi akan berakhir. Namun ternyata tidak.
Isu-isu kebangkitan PKI memang terdengar sudah lama. Di negara-negara yang ada partai komunisnya itu tidak laku bahkan minim simpatisan. Hal ini bukan berarti bahwa komunis tidak benar dan membenarkan kapitalisme. Jika dinalar secara rasional, di negara-negara yang ada partai komunisnya saja minim simpatisan, apalagi di Indonesia yang bisa dikatakan anti-komunis. Jadi sudah jelas bahwa komunis ini akan sulit berkembang di Indonesia. Tetapi peluang untuk berkembang kembali pun masih ada dan apabila terorganisir dengan rapi, maka besar kemungkinan akan dengan cepat menjamur di Indonesia.
Sebagai orang yang sudah terbiasa sejak dulu selalu dianggap salah, dicurigai dan kambinghitamkan, para eks simpatisan dan keturunan PKI sudah bisa menyiasati bagaimana hidupnya saat ini. Mereka menjadikan pengalaman sebagai guru dalam menjalani kehidupan. Mereka sudah bisa memahami kapan waktu aman dan kapan waktu bahaya. Karena masih ada saja pihak-pihak yang dengan sengaja mengintai gerak-gerik eks simpatisan dan keturunan PKI ini.
Sikap Pemerintah
Menyinggung persoalan G-30S/PKI memang pelik dan rumit. Karena dalam penyajian sejarahnya pun banyak versi. Hal ini disebabkan karena unsur politik yang menyelubungi peristiwa ini. Mulai dari pencitraan penguasa saat itu sampai catatan para simpatisan dan korban peristiwa G-30S/PKI. Lantas siapa yang berperan penting sebagai penulis otentik peristiwa ini? Semua tulisan sejarah seolah-olah benar semua. Untuk menguji kebenarannya pun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Akibat yang ditimbulkan peristiwa ini juga tidak sepele. Banyak memakan korban jiwa yang tidak sedikit dari pihak TNI, PKI maupun sipil.
Rasa kebencian terhadap PKI pun menurun sampai ke anak cucu mereka. Bahkan sampai sekarang. Ini merupakan tugas besar pemerintah. Bahwasanya yang melakukan dosa adalah orang tua mereka. Anak turunannya tidak tahu menahu atas peristiwa itu. Yang menjadi persoalan besar adalah bagaimana mengembalikan citra dan nama baik para eks, simpatisan dan anak keturunan mereka.
Mungkin perlu adanya rehabilitasi dan rekonsiliasi untuk para eks simpatisan dan keturunan PKI ini untuk senantiasa kuat melawan kerasnya hidup sebagai keturunan PKI. Untuk menggalakkan program tersebut perlu adanya kerjasama dari pemerintah dan lembaga-lembaga terkait serta peran masyarakat di dalamnya. Dan diharapkan untuk para eks simpatisan dan keturunan PKI dengan baik serta mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Wallahu a’lam bishshawab.

Muchamad Iqbal Najib
Mahasiswa UIN Walisongo Prodi Tafsir Hadits semester I, Mahasantri Bina Insani Semarang