Pemerintahan daerah seluruh Indonesia, termasuk empat kabupaten di Madura sedang mengeliat diwarnai riak-riak beragam. Ini terjadi sebagai dampak pembenahan organisasi perangkat daerah pelaksanaan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, yang tanpa kecuali tahun ini harus tuntas bahkan sudah tercermin dalam penyusunan APBD tahun 2017.
Untuk mempermudah agar “kewajiban” pembentukan organisasi perangkat daerah sesuai PP Nomor 18 Tahun 2016 terealisir sesuai batas waktu yaitu tahun ini, Kementrian Dalam Negeri membuat berbagai contoh Rancangan Perda Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah. Termasuk juga contoh naskah akademiknya. Pemerintah daerah praktis hanya perlu memetakan berdasar data-data riil kualifikasi perangkat daerah yang akan dibentuk apakah masuk katagori A, B, C atau bisa jadi hanya sekedar menjadi bagian dan atau seksi dari sebuah perangkat daerah.
Penataan organisasi dan jabatan (restructuring dan rightsizing) yang antara lain bertujuan agar semua jelas kontribusinya terhadap pencapaian target kinerja organisasi sebenarnya merupakan langkah strategis “luar biasa” dari pemerintah. Melalui penataan ini berbagai hal menyangkut persoalan pemerintah daerah klasik diharapkan dapat segera dibenahi. Misalnya, tak boleh lagi sebuah organisasi perangkat daerah terlalu gemuk; tak sesuai lingkup kerja dan kebutuhannya. Jangan lagi orang yang mengurus jumlahnya lebih banyak dari yang diurus.
Keberadaan organisasi perangkat daerah yang selama ini diatur PP nomor 41 tahun 2007 yang hanya menegaskan jumlah perangkat daerah berdasarkan katagori daerah besar , sedang dan kecil cenderung “dimanfaatkan” untuk membentuk perangkat daerah dalam jumlah maksimal. Seringkali dinas-dinas dan badan yang sebenarnya tak memiliki urgensi dipaksakan dibentuk. Lebih parah lagi kadang pegawai yang mengisi berbagai dinas maupun badan melebihi kebutuhan yang seharusnya.
Dampak langsung yang sudah terbukti menggejala adalah anatomi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) jauh dari ideal. Kadang APBD lebih banyak untuk membiayai gaji pegawai ketimbang memenuhi kebutuhan pembangunan dan hal riil yang menjadi harapan masyarakat. Akibatnya, karena anatomi APBD kurang sehat kemajuan pembangunan daerah bergerak sangat lamban. Misalnya, pembangunan dan pembenahan infrastruktur berjalan “merangkak” karena selalu dihadapkan kesulitan dan keterbatasan anggaran.
Melalui pembenahan organisasi perangkat daerah keseluruhan struktur dan pengisian kebutuhan pegawai diupayakan proporsional. Semua kelembagaan benar-benar efektif, efisien dalam melaksanakan tugasnya; personel memadai baik dalam jumlah maupun standar kompetensinya.
PP Nomor 18 tahun 2016 yang merupakan amanah Undang-undang Pemerintahan Daerah memang merupakan rangkaian keseluruhan pembenahan pemerintah daerah. Ada juga UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebuah undang-undang yang bertujuan menata kepegawaian di neger ini agar tak lagi bergerak dalam tarik menarik kepentingan politik atau menjadi korban politisasi birokrasi.
Masih terkait pembenahan pemerintahan daerah Undang-undang Pilkada diatur sangat ketat, antara lain di dalamnya sangat jelas dan tegas birokrasi pemerintahan daerah harus steril dari kepentingan politik. Pemilihan kepala daerah dan wakilnya tak boleh mempengaruhi keseluruhan sistem birokrasi kepegawaian baik menyangkut kinerja maupun jabatan dalam struktur birokrasi pemerintahan daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah memang seharusnya “hanya” diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahasa populernya terwujudnya pemerintahan daerah yang profesional, efisien, efektif, produktif, berdaya saing sehingga memberikan kemanfaatan bagi masyarakat .
