Melihat judul di atas pasti pembaca bertanya-tanya dan tentunya penasaran. Adakah hubungannya antara kasus yang menjerat Ahok dengan pembangunan di wilayah Madura? Pertanyaan ini wajar karena orang pasti berpikir mana mungkin ada hubungannya antara kasus Basuki Cahya Purnama atau Ahok dengan pembangunan di Madura. Kalau berbicara masalah kemungkinan, maka semua kemungkinan pasti ada, baik ada maupun tidak ada hubungannya. Di sini saya meyakini jelas ada hubungannya.
Kalau Ahok dilaporkan telah menghina Al-quran atau masuk dalam ranah penistaan agama, maka kata ‘penistaan’ ini akan banyak melahirkan penistaan-penistaan baru dalam bidang dan tafsir yang berbeda. Sementara itu, penistaan dalam bidang yang berbeda akan melahirkan konsekuensi hukum yang juga berbeda. Selain kata penistaan dalam kasus Ahok tersebut, timbul juga kata penafsiran untuk menyelidiki apakah kasus itu masuk pada ranah penistaan agama atau tidak. Nah, ternyata penafsiran juga telah menjadi polemik sendiri yang kadang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan golongan, serta dapat juga dijadikan untuk menjerat seseorang apakah ia telah melanggar hukum atau tidak sama sekali. Artinya, dalam rangka menafsirkan sebuah kata atau kejadian pihak kepolisian dapat memanggil para ahli sesuai dengan selera polisi, sehingga ini berakibat pada penetapan hukum yang tidak lagi objektif tapi subjektif. Hal ini tergantung dari like dan dislike-nya pihak kepolisian pada kasus tertentu.
Terjadinya penafsiran yang berbeda dalam kasus Ahok disebabkan karena penggunaan kata ‘pakai’ dalam transkip video yang dihilangkan oleh seseorang. Ternyata menggunakan kata ‘pakai’ dan tidak dalam sebuah kalimat menimbulkan penafsiran dan pemahaman yang berbeda. Nah, bagaimana kalau kata ‘pakai’ kita hubungkan dengan nama Madura?. Berbicara masalah Madura banyak kalangan yang terjebak pada pemahaman bahwa Madura adalah wilayah yang terdiri dari satu pulau saja yang mempunyai empat kabupaten, yaitu Sumenep, Pamekasan, Sampang dan Bangkalan. Padahal banyak dan bahkan lebih dari ratusan pulau-pulau kecil yang berada di wilayah teritori Madura. Ada 127 pulau kecil di Madura, 126 berada di wilayah kabupaten Sumenep dan satu pulau di wilayah kabupaten Sampang. Dengan kata lain bahwa Madura merupakan wilayah kepulauan. Oleh karena itu, dalam rangka tidak menghilangkan struktur nama, simbol atau brand dari Madura itu sendiri, maka harus ‘pakai’ nama Kepulauan Madura. Menggunakan nama ‘kepulauan’ disamping memberikan makna bahwa Madura tidak hanya ada satu pulau saja, tapi menuntut adanya sebuah pengakuan dan kesadaran dari pemerintah terhadap ratusan pulau-pulau kecil yang berada di sekitar perairan Madura tersebut. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai obat penawar akan adanya persamaan hak dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Kenapa harus menuntut persamaan hak dan perlakan yang sama di depan hukum?. Sebelum membahas ini, mari kita bahas dulu pembangunan di Madura.
Ketimpangan Pembangunan
Di atas telah kita singgung bahwa Madura terdiri dari banyak pulau. Dengan banyaknya pulau yang dimilki, maka pemerintah Madura yang wilayahnya terdapat banyak pulau kecil-kecil harus realistis dan proporsional dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan yang ada tidak boleh hanya difokuskan pada wilayah daratan saja, tapi bagaimana kebijakan pembangunan itu dapat menyentuh daerah di kepulauan. Kepulauan saat ini membutuhkan perhatian yang lebih dari pemerintah. Dengan demikian, maka pemerintah harus memberikan porsi anggaran yang lebih untuk kepulauan. Hal ini disebabkan karena di kepulauan banyak potensi tersembunyi yang perlu diperhatikan dan dikembangkan dengan baik oleh pemerintah. Salah satu potensi tersebut adalah kepulauan dapat dijadikan sebagai pusat wisata bahari. Selain itu, kepulauan juga berpotensi menjadi poros maritimnya Indonesia. Potensi kepulauan sebagai pusat wisata bahari disamping karena pantai dengan pasir putih dan pulaunya yang menawan, juga pemandangan ekosistem laut yang indah di sana belum tercemari oleh limbah pabrik, sehingga ini dapat menarik para wisatawan lokal dan mancanegara berkunjung ke kepulauan. Saat ini yang sudah banyak dikunjungi adalah pulau Labak dan kepulauan Kangean yang berada di ujung timur Madura.
Tidak berlebihan kiranya kalaupun dikatakan bahwa kepulauan juga berpotensi untuk menjadi poros maritim Indonesia karena pulau-pulau yang ada di di Sumenep ada yang dekat dengan Kalimantan, Sulawesi dan juga Bali. Sebagai contoh, Pulau Karamian dekat dengan Kalimantan Selatan, Pulau Sakala dekat dengan Sulawesi dan wilayah kepulauan Kangean juga dekat dengan Pulau Bali. Walaupun beberapa kepulauan yang ada di Sumenep dekat dengan pulau-pulau besar yang ada di Indonesia seperti yang disebutkan di atas, tapi tidak ada jalur transportasi yang dapat digunakan untuk menghubungkan beberapa pulau tersebut. Padahal seandainya tersedia alat transportasi, maka ini akan berakibat pada pertumbuhan perekonomian masyarakat setempat dan tentunya pasti menguntungkan bagi pemerintah. Dengan potensi kepulauan sebagai poros maritim, maka kepulauan tersebut juga dapat menjadi zonasi wilayah yang masuk pada kategori services city (kota jasa). Namun kenyataannya, hal tersebut tidak pernah terpikirkan oleh pemerintah setempat.
Melihat potensi di atas, ternyata tidak berbanding lurus dengan pembangunan yang ada di kepulauan. Pembangunan di kepulauan masih tergolong memprihatinkan. Bagaimana tidak, transportasi laut dan darat jauh dari kata layak, fasilitas dan sarana prasarana seperti pendidikan, kesehatan dan pemerintahan cukup jauh tertinggal dari daratan. Ini yang kita katakan bahwa terjadi ketimpangan pembangunan antara wilayah daratan dan kepulauan. Kepulauan berada pada posisi yang tidak menguntungkan.
Penistaan Kitab Undang-Undang Dasar
Kembali kepada persoalan penistaan. Di mana di atas kita coba untuk menghubungkan antara kasus Ahok dan pembangunan di Madura. Kalau Ahok dituduh telah menistakan agama oleh beberapa kelompok Islam, maka pemerintah Madura terutama yang mempunyai kawasan yang terdiri dari banyak pulau telah menistakan isi yang ada dalam undang-undang. Kenapa sampai demikian? Kita tahu dalam ketentuan UUD 1945 pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”. Di dalam pasal 28D juga disebutkan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Mengacu pada undang-undang tersebut, pemerintah seharusnya memperlakukan warganya sama di depan hukum tanpa membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lain atau antara warga yang hidup di daratan dan warga yang tinggal di kepulauan. Kalau di daratan mendapat fasilitas yang layak dan baik, maka demikian juga seharusnya di kepulauan. Kalau pembangunan di daratan semakin maju, begitu juga seharusnya di kepulauan. Kita harus dapat melihat bahwa pembangunan di kepulauan sebagai barometer pembangunan di wilayah daratan. Kalau pembangunan di kepulauan masuk pada kategori baik, maka pasti di daratan pembangunannya akan lebih baik. Akan tetapi sebaliknya kalau pembangunan di daratan baik, belum tentu di kepulauan baik.
Pemerintah selama ini selalu menuntut masyarakat untuk melaksanakan kewajibannya. Seperti bayar pajak tepat waktu, dan jika tidak maka ia akan dikenai denda. Sementara ketika masyarakat menuntut haknya, justru pemerintah tidak memperdulikannya dan bahkan cenderung tidak menghiraukannya. Kalau kenyataannya seperti ini, maka pemerintah telah menghianati dan menistakan UUD 1945. Kalau Ahok dituduh dengan penistaan agama, berarti pemerintah layak dijerat hukum penistaan terhadap kitab undang-undang. Akan tetapi tidak ada pasal yang mengatur tentang penistaan terhadap undang-undang tersebut. Mungkin nanti bisa dikembangkan tentang hukum penistaan terhadap undang-undang. Wassalam.
Ahmad Hosaini,
Dosen Instika Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep
Program Doktor S3 Pascasarjana Universitas Negeri (UM) Malang