SUMENEP, koranmadura.com – Sertifikat sebagian tanah di bantaran Kali Marengan yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep dinilai tidak prosedural oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pengairan setempat.
Baca: Soal Rumah di Bantaran Kali Marengan, Pemkab Angkat Tangan
Kepala Dinas PU Pengairan Sumenep, Eri Susanto, mengatakan, penerbitan sertifikat sebagian tanah di bantaran Kali Marengan tidak prosedural, karena dalam proses penerbitan hak atas tanah itu tidak melibatkan pemerintah daerah. Padahal, sebagian tanah itu merupakan milik pemerintah.
“Tapi saya ngomong ketika berbatasan (dengan) tanah orang kenapa BPN manggil, tapi kenapa kalau berbatasan dengan jalan atau sungai kenapa pemerintah tidak diikutsertakan, wong itu ada batasnya,” katanya, Selasa, 14 November 2016.
Menurutnya, beberapa tahun lalu pihaknya pernah komunikasi dengan pihak BPN setempat, namun BPN berdalih penerbitan sertifikat tersebut sudah sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Salah satunya karena sudah ada surat keterangan yang dikeluarkan oleh kepala desa. “Katanya karena sudah ada tanda tangan kepala desa,” jelasnya.
Padahal, kata Erik, sapaan akrab Eri Susanto, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, PP Nomor 25 Tahun 1991 tentang Sungai dan PP Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, khusus Kali Marengan lima meter dari bibir kali tidak diperbolehkan didirikan bangunan. Karena itu merupakan milik pemerintah.
Dikatakan, beberapa tahun silam di bantaran Kali Marengan terdapat beberapa warga yang diperbolehkan menempati tanah negara, karena telah mendapatkan izin dari Dinas PU Pengairan Sumenep.
Dibarikannya izin itu, karena warga yang menempati telah lama tinggal di lokasi tersebut, yakni masa Belanda sedang menjajah Indonesia. Namun, apabila tanah tersebut diperlukan oleh pemerintah, dengan tanpa paksaan mereka harus menyerahkan.
Hanya saja, sekak sekitar tahun 1990 banyak warga yang mulai mengajukan pembuatan sertifikat atas sebidang tanah atau bangunan di tanah terlarang itu. Sehingga, pembuatan sertifikat hak atas tanah terus dilakukan meskipun bertentangan dengan UU. “Awalnya ada beberapa warga yang mendapat izin sejak Belanda tinggal di sana (bantaran Kali Marengan), tapi sejak tahun 90-an ada sertifikat,” tegasnya.
Sementara itu, Kasi Sengketa Konflik Perkara BPN Sumenep Mahfud Efendi mengaku belum mengetahui soal pembuatan sertifikat tersebut. Dia membenarkan sungai tidak diperbolehkan didirikan bangunan dan tidak boleh dikuasi perorangan. “Kami belum tahu soal itu, nanti mau dikroscek dulu. Tapi itu memang tidak boleh jika masuk sempadan kali,” katanya. (JUNAIDI/MK)
