BANGKALAN, koranmadura.com – Teras rumah Ali Imron, 34 tahun, di Desa Paseseh, penuh orang: laki-laki dan perempuan. Mereka ingin melihat langsung kondisi Imron, nakhoda kapal pengangkut ternak ‘Sinar Mutiara’ yang karam di Perairan Ketapang, Kabupaten Sampang akibat cuaca buruk, Senin, 5 Desember 2016 lalu.
Baca: Kapal Tenggelam di Perairan Ketapang
Rumah Imron hanya berjarak 300 meter dari Pelabuhan Telaga Biru di Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan. Dari pelabuhan inilah kapal Sinar Mutiara berangkat mengangkut 140 ekor sapi, 700 ekor kambing dan 25 orang tujuan Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Namun perjalanan baru sampai Ketapang, kapal dihadang cuaca buruk dan tenggelam bersama ratusan ternak yang dibawa. Beruntung 25 orang yang ada di dalam kapal selamat semua.
Baca: Alhamdulillah! 16 ABK Kapal Sinar Mutiara Ditemukan Selamat
Imron menuturkan, saat berangkat pukul 14.00 wib dari Pelabuhan Telaga Biru cuaca normal. Laporan dari BMKG pun memprediksi ketinggian gelombang hanya 1,5 meter. Kapal kayu berbobot 50 grostone itu masih bisa melewatinya. Syahbandar Pelabuhan Telaga Biru, Edi Kuswanto pun membenarkan laporan BMKG memprediksi cuaca normal sehingga izin berlayar diberiakan kepada kapal Sinar Mutiara.
Tapi alam berkehendak lain, dua jam kemudian, sekira pukuk 16.00 wib, sesampainya di Perairan Ketapang, Kabupaten Sampang, cuaca mendadak ekstrem, gelombang yang semula tenang mendadak setinggi tiga meter, angin pun sangat kencang.
Bagi Imron yang sudah lama jadi nakhoda, badai Senin sore itu tak biasa. Gelombang menghantam tidak hanya dari depan, tapi juga kiri, kanan dan belakang. “Kapal seperti berada di tengah pertemuan gelombang dan arus air, tak bisa menghindar,” tutur dia.
Dalam waktu singkat, air sudah memenuhi dek paling bawah tempat mesin berada. ABK dan para pemilik ternak, bahu membahu menguras air dan berhasil. Imron pun menutuskan ‘balik kucing’ atau putar balik ke pelabuhan. Namun karena santernya terjangan gelombang, dek bawah kembali berisi air.
Upaya menguras air tak berhasil, air justru makin banyak setelah salah satu sisi lambung pecah. Imron dan kawan-kawan menyerah. Mereka bergegas naik ke kamar di dek atas tempat peralatan seperti jaket pelampung, pelampung dan rakit disimpan.
Menurut Imron, setelah semua orang pakai pelampung, kapal perlahan miring ke kanan dan perlahan tenggelam. Sebelum kapal benar-benar tenggelam, mereka sempat merakit bambu untuk dijadikan rakit. Bambu memang disediakan sebagai antisipasi keadaan darurat, seperti yang mereka hadapi sore itu.
Ketika kapal makin cepat karam. Rakit dilempar ke laut. Satu persatu mereka pun menceburkan diri ke laut, berenang menuju rakit dan berpegangan. Sebelum kapal tengelam, Imron masih sempat mengambil telepon satelit di ruang nahkoda.
Di atas rakit Imron berusaha meminta bantuan dengan telepon itu. Tapi tak satu pun merespons panggilan. Mereka terombang-ambing selama 16 jam di lautan. “Mau makan apa, Mas, kami hanya berdoa agar segera datang bantuan, pokoknya hidup,” kata Imron.
Baru pada Selasa pagi, permohonan bantuan direspons oleh kapal belimbing, ini kapal nelayan asal Lamongan. Pukul 8, belimbing menemukan para nelayan. Mereka kemudian dievakuasi ke atas kapal. Pukul 12.00 wib, mereka sampai di dermaga Telaga Biru. Ratusan warga dan keluarga menyambut mereka dengan tangis haru.
Kepala BPBD Bangkalan, Wahid Hidayat mengatakan BMKG memang mengeluarkan peringatan soal munculnya bencana di darat dan laut. Seperti longsor, puting beliung dan badai. “Diperkirakan akan berlangsung hingga Januari mendatang,” ungkap dia. (ALMUSTAFA/MK)
