
Oleh: Miqdad Husein
Belum hilang kegetiran dan duka meninggalnya taruna STIP muncul kasus sejenis. Kali ini korbannya lebih banyak lagi. Tiga mahasiswa Universitas Islam Indonesia Yogyakarta harus meregang nyawa diduga akibat tindak kekerasan seniornya dalam acara Pendidian Dasar Mapala.
Ada apa sebenarnya dunia perguruan tinggi di negeri ini sehingga kasus sejenis selalu terulang. Seakan tak pernah ada rasa ngeri dan takut untuk menghilangkan nyawa sesama. Memupus harapan orang tua, menaburkan duka nestapa yang tak akan mudah terhapuskan. Ironisnya kejadian memilukan itu selalu dalam perhelatan serupa; menyangkut relasi senior-yunior mewujud tindak kekerasan.
Berbagai larangan pihak berwenang sudah sering ditegaskan bahkan melalui peraturan resmi. Namun sering peraturan hanya sampai di atas meja, tidak mampu menghalangi hasrat segelintir mahasiswa senior untuk memamerkan arogansinya. Pihak perguruan tinggipun seringkali ditelikung oleh oknum-oknum mahasiswa yang berlagak sebagai algojo penyiksa itu.
Benar, ini sepenuhnya sebuah tindakan keterlaluan melompati pagar-pagar hukum sehingga pihak universitaspun kadang sulit memonitor. Di sini berlaku semacam ungkapan bahwa selalu saja pihak pengawas kalah dari yang diawasi.
Jika demikian, maka alternatif paling masuk akal yang perlu ditempuh agar kasus sejenis tak terulang adalah pemberian sanksi efek jera kepada para pelaku. Jangan lagi ada belas kasihan atas dasar pemikiran mereka adalah mahasiswa, yang dibumbui kekhawatiran masa depannya. Perlu dibuang romantisme memandang para mahasiswa arogan itu agar hukum benar-benar ditegakkan maksimal. Semuanya bertujuan satu: melindungi seluruh mahasiswa agar tak terjadi lagi kematian sia-sia karena arogansi senior pada yunior.
Mereka para senior arogan itu justru berbahaya bila diberikan sedikit saja kelonggaran dan belas kasihan atas nama hukum. Dengan hanya berstatus sebagai senior saja, sebuah relasi yang sama sekali tak memiliki kekuasaan formal, berbagai tindakan arogan dilakukan. Apalagi jika mereka sedikit saja memegang kekuasaan formal. Mereka bisa jadi bibit-bibit unggul pelaku tindak kriminal berat yang sama sekali tak memiliki nurani belas kasihan pada sesama.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah mencairkan feodalisme senior yunior yang sebenarnya begitu subur di tengah lingkungan pendidikan, termasuk pada kegiatan eksta kurikuler. Lihat di berbagai daerah terkait aktivitas pelatihan Paskibraka dari para senior. Mudah sekali terlihat arogansi senior pada yunior yang potensial menimbulkan tindakan kekerasan. Atas nama kedisiplinan yang kebablasan sering mereka melatih jauh dari proporsional.
Para yunior itu perlu mendapat pencerahan pemahaman bahwa senior bukanlah makhluk berkuasa penuh yang dapat bertindak sewenang-wenang. Bahwa mereka dibatasi aturan baku yang bila melampauinya para yunior berhak untuk menolak dan kalau perlu melawan.
Ini adalah bentuk proteksi dini kepada yunior tanpa menghilangkan kewenangan senior untuk melatih dalam batas-batas pedoman yang telah ditentukan lembaga. Jika muncul tindak atau perilaku yang melabrak batasan ketentuan, para yunior dibolehkan melakukan penolakan. Jadi ditanamkan kesadaran hak dan kewajiban. Sesuatu yang praktis seringkali terabaikan sehingga sering terjadi para yunior seakan tidak memiliki hak sama sekali.
Terakhir terkait perlunya dibangun kebersamaan para yunior. Ini mungkin terkesan konyol tetapi penting sebagai perlindungan ketika instrumen hukum seperti pedoman dan pengawasan lembaga tidak mampu menjangkau berbagia aktivitas kemahasiswaan. Mereka perlu ditanamkan kebersamaan dan kekompakan untuk menolak dan kalau perlu melawan bersama-sama jika ternyata para senior bertindak melampaui ketentuan pedoman pembinaan.
Jadi mahasiswa harus memiliki keberanian memperjuangkan haknya termasuk melindungi dirinya jika menghadapi tindakan di luar batas. Semua itu bisa dilakukan bila tumbuh kebersamaan dan kesadaran hak dari para yunior agar para senior tak lagi sewenang-wenang.(*)