SAMPANG, koranmadura.com – Dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus dugaan korupsi PT Sampang Madiri Perkasa (SMP) dengan tersangka Hasan Ali dianggap konyol dan dinilai hanya mengada-ada.
Baca: Kasus Korupsi PT SMP, Kejari Sampang Keluarkan SP3
Ketua Madura Development Watch, Ahmad Mahrus Alie, mengatakan, keterlibatan direksi PT SMP Hasan Ali dalam carut marutnya badan usaha milik daerah itu sangat besar. Keterlibatan Hasan Ali merupakan rentetan dan pengembangan kasus korupsi yang dilakukan mantan Bupati Sampang, Noer Tjahja cs. Sebab keberadaan Hasan Ali di dalam kepengurusan PT SMP sejak tahun 2013 lalu.
“Di mana saat itu PT SMP tidak murni sebagai perusahaan swasta, yakni sahamnya sebanyak 51 persen masih milik pemerintah dan 49 persen milik swasta. Jadi jelas Hasan Ali masih ada keterlibatan,” terang Ketua LSM MDW, Ali Mahrus kepada koranmadura.com, Kamis, 12 Januari 2016.
Selain itu, Mahrus mengatakan, saat pihaknya melakukan audiensi beberapa waktu lalu, Hasan Ali mengakui adanya deviden yang dipaksakan. Berdasarkan data yang dimilikinya, bukti transaksi deviden itu berlangsung pada tanggal 30 Mei 2014 sebesar Rp 11 miliar, kemudian pada tanggal 7 Juni 2014 sebesar Rp 5 miliar. “Direksi PT SMP melakukan transaksi keuangan itu di luar RUPS dan jelas itu menyalahi aturan,” ujarnya.
Pihaknya mengaku gamang terhadap keabsahan status PT SMP yang dikatakan perusahaan swasta sejak tahun 2015 lalu. Padahal, setahunya, pada Desember 2016, PT SMP telah melaksanakan RUPS sebanyak dua kali. Namun saat itu, pemilik saham dari PT Asa Perkasa tidak menghadirinya.
“Desember 2016 kemarin saja, dua kali ada RUPS, Sekda waktu itu datang. Ini swasta gimana? Jadi alasan kejaksaan itu mengada-ada. Apalagi aset-aset PT SMP masih milik Pemkab,” tandasnya.
Sementara Kasi Pidsus Kejari Sampang, Yudie Arieanto Tri Santosa, mengatakan, dikeluarkannya SP3 terhadap Hasan Ali selaku Direksi PT SMP karena tidak terpenuhinya dua alat bukti terhadap yang bersangkutan untuk ditingkatkan ke tahap penuntutan.
Sebagaimana hasil putusan MA bahwa PT SMP tidak lagi sebagai BUMD, melainkan sudah menjadi perusahaan swasta nasional yang menjadikan BPKP perwakilan Jatim tidak bisa melakukan audit keuangannya.
“Karena putusan pengadilan tidak akan membuat putusan yang kontradiktif. Dengan alasan itulah, apabila kita naikkan ke tahap penuntutan, maka kita sudah tahu hasilnya. Artinya, jika kita paksakan perkaranya hasilnya tidak bagus,” tuturnya. (MUHLIS/MK)
