SUMENEP, koranmadura.com – Berkas empat terdakwa kasus dugaan penyimpangan pembangunan dan perbaikan jalan hotmix Desa Bragung Kecamatan Guluk-Guluk-Desa Prancak Kecamatan Pasongsongan tahun 2013 telah memasuki persidangan dengan agenda pembelaan yang bakal dilaksanakan pekan depan.
Empat terdakwa itu, yaitu Siti Aminah selaku Direktur CV Afiliasi rekanan Dinas Pekerjaan Umum (PU) Bina Marga Kabupaten Sumenep, Iwan Hujayanto konsultan pengawas, Indra Wahyudi pejabat pembuat komitmen (PPKo), dan Muhammad Zainur Rahman selaku Ketua Tim Penerima Barang Hasil Pekerjaan (PBHP).
Kasi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumenep, Agus Subagya mengatakan, empat terdakwa mempunyai peran tersendiri dalam memuluskan tindakan melawan hukum. “Peran keempat terdakwa berbeda, makanya tuntutan pada mereka tidak sama,” katanya, Selasa, 10 Januari 2017.
Siti Nur Aminah dan Muhammad Zainur Rahman, masing-masing dua setengah tahun. Selain itu Nur Aminah juga harus membayar denda Rp70 juta dengan atau bisa diganti kurungan tamabahan (subsider) tiga bulan penjara, dan harus membayar uang pengganti (UP) sebesar Rp 140 juta lebih, dan Ketua Tim PBHP harus membayar denda sebesar Rp70 juta dan membayar UP sebesar Rp110 juta lebih.
Sementara Iwan Hujayanto selaku konsultan pengawas, dan Indra Wahyudi selaku pejabat pembuat komitmen (PPKo) masing-masing dituntut satu setengah tahun kurungan penjara.
Menurutnya, sesuai hasil pembuktian dalam persidangan, sejak awal kontraktor dengan PBHP bersekongkol untuk memuluskan aksi mereka. Salah satunya dalam pembelian material hotmix.
Awalnya, kontraktor mengajukan penawaran pembelian hotmix kepada ketua BPHP dengan uang muka sekitar Rp140 juta untuk pembelian 300 ton material hotmix. Itu dilakukan karena kontraktor tidak mempunyai AMP pendukung yang menyediakan bahan hotmix. Namun, uang muka itu tidak dibelikan oleh Ketua BPHP.
Setelah diketahui uang tersebut tidak direalisasikan, kontraktor terpaksa mencari AMP lain. Namun, AMP lain harga material hotmix lebih mahal dari yang sebelumnya, sehingga anggaran yang telah diberikan tidak cukup. “Karena tidak cukup, maka mereka terpaksa membeli hotmix sebanyak 300 ton dengan ketebalan 3 cm. Padahal yang dibutuhkan ketebalan 5 cm,” jelasnya.
Dari itu, maka telah terjadi kerugian negara sekitar Rp 300 juta lebih. Namun, setelah itu dari kerugian itu sebesar Rp 29 juta telah dikembalikan. Sementara sisanya akan ditanggung oleh keduanya, yakni untuk kontraktor dibebankan sebesar Rp 140 juta dan ketua BPHP sebesar Rp110 juta lebih. “Jadi sejak awal kontraktor dan BPHP telah terjadi persekongkolan. Makanya kerugian negara ditanggung oleh mereka berdua,” jelasnya.
Sementara Iwan Hujayanto selaku konsultan pengawas dan Indra Wahyudi selaku pejabat pembuat komitmen (PPKo) tidak ikut menikmati uang hasil korupsi itu. Dia terlibat karena tidak konsisten dan terkesan membiarkan pekerjaan yang dilakukan oleh kontrktor tidak sesuai RAB yang ada.
“Si Iwan sebenarnya sudah tahu, dan telah menegur kontraktor, salahnya dalam laporan ke BPK sudah sesuai dengan kontrak. Sedangkan, PPKo dianggap tidak bisa memenejerial pekerjaan, sehingga tidak sesui dengan kontrak. Mereka berdua tidak ikut menikmati,” tegasnya. (JUNAIDI/MK).
