SAMPANG, koranmadura.com– Direksi PT Sampang Mandiri Perkasa (SMP) Hasan Ali, yang dijadikan tersangka kasus dugaan korupsi pengelolaan badan usaha milik daerah itu pada tahun 2013 oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Sampang, saat ini bernapas lega. Kejari mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sejak November 2016.
Kasi Pidsus Kejari Sampang, Yudie Arieanto Tri Santosa, mengatakan, dikeluarkannya SP3 terhadap Hasan Ali selaku Direksi PT SMP karena tidak terpenuhinya dua alat bukti terhadap yang bersangkutan untuk ditingkatkan ke tahap penuntutan.
“Makanya untuk penyidikan terhadap tersangka itu kita hentikan atau di-SP3-kan,” ucap Kasi Pidsus Kejari Sampang saat ditemui awak media di meja kerjanya, Kamis, 12 Januari 2017.
Katanya, salah satu unsur tindak pidana korupsi, sebagaimana tertera dalam Pasal 2 dan 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yaitu harus jelas adanya kerugian negara.
Pihaknya mengaku sudah melakukan permintaan penghitungan kerugian negara melalui Badan Pemeriksaan Keuangan Pembangunan (BPKP) perwakilan Jawa Timur, namun permintaan itu tidak dilakukan disebabakan putusan terdahulu, yakni mengenai kasus PT SMP atas perkara mantan Bupati Sampang, Noer Tjahja Cs.
“Jadi dalam pengambilan putusan kasasi di pengadilan baik tingkat PN, PT maupun MA, PT SMP dinyatakan sebagai perusahaan swasta nasional sejak tahun 2015 lalu. Sehingga BPKP tidak bisa melakukan audit kerugian keuangannya, karena swasta tidak ada kaitannya dengan keuangan negara,” jelasnya.
Yudie mengatakan, hal itu menjadi salah satu unsur tidak dapat dilanjutkannya penyidikan. “Tapi penghentian ini bukan berarti sudah selesai, karena jika ada nofum (bukti) baru, maka perkara tersebut dapat dibuka kembali,” tegasnya.
Di sisi lain Yudie menjelaskan, penetapan tersangka kepada Hasan Ali karena Kejari Sampang menganggap masih ada keuangan negara yang dikelola oleh PT SMP lainnya yang belum dilakukan pengembalian.
“Sebenarnya kita tahu bahwa ada putusan sebelumnya, tapi kita melihat masih ada keuangan negara yang dikelola, baik dipermodalan atau dibidang usahanya. Tapi untuk jumlah persisnya kita belum bisa menghitung kerugiannya. Kalau modalnya sudah jelas yaitu sebesar Rp 1 miliar lebih, dan itu tidak bisa dianggap sebagai kerugian negara. Yang jelas, dulu kita tetapkan tersangkan karena kita anggap ada potensi kerugian negara,” tandasnya. (MUHLIS/MK)
