Oleh: Miqdad Husein
Ini tentang ulama dan politisi yang belakangan ini sulit dibedakan. Bukan karena ada ulama berpolitik yang sudah umum terjadi tapi ada politisi walau tidak berpartai sengaja berbaju ulama. Gelar bernuansa agama sejenis ulama kadang hanya menjadi semacam simbol untuk menarik perhatian massa.
Mengapa berpolitik memakai simbol bernuansa agama? Itulah cara paling mudah menggerakkan massa, membangun dukungan menggunakan ayat-ayat suci. Sebuah praktek yang kerap terjadi di negeri ini. Saat Pilpres maupun Pileg misalnya, bertebaran ayat-ayat suci Al Quran yang sengaja diberi muatan kepentingan politik. Bahasa sederhananya menjual agama demi kepentingan politik.
Mengetahui dan memahami ulama berpolitik, mudah sekali. Biasanya terlihat lebih kalem, tidak meledak-ledak dan yang paling penting lagi: selalu menebar kesejukan. Politik benar-benarnya hanya ladang pengabdian. Yang begini ini sulit ditemui alias agak jarang di negeri ini. Banyak ulama asli yang biasanya tak betah berlama-lama berada di wilayah politik.
Yang agak sulit mengetahui politisi berbaju ulama. Sepak terjangnya, kehidupan kesehariannya sangat kental agama. Ia suka berceramah agama; dipanggil dengan predikat sebagai ulama. Walhasil seluruhnya selalu dikaitkan dengan agama.
Karena berselimut agama masyarakat kadang kurang memahami sepak terjang politiknya. Sebab yang tertangkap di permukaan seluruhnya mengesankan agama. Agenda politiknya tak mudah dipahami karena itu tadi, semuanya dibungkus nuansa agama.
Ulama yang berpolitik atau terutama ulama asli yang jauh dari politik sangat mudah dikenali masyarakat. Ciri paling sederhana dari ulama asli ini tak pernah membangun citra politik di tengah masyarakat. Semua pekerjaannya dilakukan tanpa gembar gembor. Apa yang dikerjakannya demi ummat, praktis semuanya diam-diam. Tak ada kesengajaan publikasi apalagi yang berlebihan.
Para ulama ini, tak akan pernah menyebarkan berbagai aktivitas sosialnya sebagai upaya membangun citra diri. Tak ada yang namanya pencitraan apalagi sampai pakai public relation segala. Jangan berharap menemukan data gebrakan besarnya. Semuanya kalau toh ada biasanya lebih bersifat lintasan pemberitaan.
Tak akan pernah ditemukan berbagai pujian manis, sanjungan yang sengaja disebarkan. Apalagi yang memuji-muji diri, yang seringkali disebarkan orang-orang sekelilingnya. Bahkan jika ada orang sekelingnya melakukan “pencitraan” ia akan melarang. Ketakutan riya benar-benar mengemuka. Bertolak belakang dengan sikap politisi yang semua aktivitasnya dilaporkan ke masyarakat. Atau bahasa ilmiahnya selalu ada proggress report ke masyarakat. Ulama? Mana ada proggress report ulama.
Ulama seperti KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Maksum, KH. AR Fahrudin, KH. Azhar Basyir sepak terjangnya baru diketahui biasanya setelah beliau wafat. Buku-buku biografi tentang mereka baru muncul setelah meninggal dunia; bertolak belakang dengan politisi yang biografinya biasanya tersebar menjelang Pileg, Pilres, Pilkada atau ketika ada kepentingan politik dengan berbagai bumbu pemanis yang kadang berlebihan.
Gus Dur, Buya Hamka tergolong ulama populer. Kepopuleran mereka bukan karena mesin mekanisme pencitraan berjalan baik. Keduanya populer karena aktivitas dan karyanya yang memang luar biasa. Jadi sepenuhnya dari data kerja obyektif dan bukan sebuah proses pencitraan.
Agama Islam sebenarnya tidak membedakan antara wilayah agama dan politik. Yang dibedakan dan perlu ditegaskan pada kesertaan seseorang. Jika mau terjun ke politik praktis tak ada larangan bagi siapapun termasuk kepada para ulama asal hitam putihnya jelas. Tidak sembunyi-sembunyi berpolitik dengan memakai baju ulama misalnya. Semuanya jelas sehingga tidak membingungkan ummat.
