SUMENEP, koranmadura.com – Hidup berdekatan dengan kekayaan alam yang melimpah seharusnya cukup menyenangkan. Namun tidak demikian dengan masyarakat kepulauan di Kabupaten Sumenep.
Banyak sumur migas digali di kabupaten yang juga produsen garam ini. Bahkan untuk mengangkut kandungan gasnya tidak cukup menggunakan kapal tanker. Para investor membangun pipa bawah laut dari Pulau Kangean hingga Gresik.
Tapi anehnya, sampai saat ini warga kepulauan di Sumenep tidak bisa menikmati listrik secara normal. Kalau pun ada, pembangkitnya hanya menggunakan mesin desel yang seringkali mati karena berbagai kendala teknis. Kadang karena ada onderdil desel yang rusak, dan kadang karena pasokan bahan bakar yang tidak terkirim dari daratan.
“Bagi saya aneh saja, mengapa membangun pipa bawah laut untuk mengalirkan gas bisa, tapi membangun pipa bawah laut untuk listrik tidak bisa. Ini menyakitkan bagi kita,” ujar, Ilung, salah satu warga di kepulauan Kangean, Sumenep, Jumat, 14 April 2017.
Salah satu kejadian memilukan terjadi pada masa pelaksanaan Ujian Nasional yang baru berlangsung beberapa hari lalu. Seluruh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Sumenep mengikuti Ujian Nasional dengan berbasis komputer, kecuali sekolah-sekolah yang ada di daerah kepulauan. Mereka terpaksa mengikuti ujian dengan cara manual menggunakan kertas dan pensil karena tidak tersedianya aliran listrik yang stabil.
“Kasian sekali mereka. Seperti anak tiri yang harus gigit jari saat saudara-saudaranya yang ada di daratan bisa menikmati fasilitas mewah. Saya ingin berteriak bahwa ini tidak adil, tapi sebelumnya sudah berkali-kali kami teriak dan tak ada yang mendengarkan kami,” ujar Ilung dengan mata berkaca-kaca.
Ia berharap pemerintah tidak hanya mengundang investor yang pandai mengeruk kekayaan alam untuk kepentinagan mereka sendiri. “Carilah yang mau peduli dengan nasib dan masa depan adik-adik kami. Jangan biarkan mereka bernasib seperti kami ini,” lanjutnya.
Dia memang mengakui bahwa beberapa infrastruktur di kepulauan mendapat batuan perbaikan dari perusahan-perusahaan migas yang beroperasi. Tapi menurutnya itu tak lebih semacam bantuan penghibur saja agar warga kepulauan tidak rewel. “Kita ini ibarat anak kecil, agar tidak menangis diberi mainan. Sekali lagi gas kita mengalir tiap hari lewat pipa yang terbentang di bawah laut. Entah kemana saja kekayaan alam itu disedot. Sementara kami hanya bisa menjadi nelayan, berpanas-panas mengais rezeki di atasnya,” ungkap Ilung. (MADANI/BETH)