Dalam ibadah apapun seorang muslim diharuskan bersiap ikhlas. Beribadah sepenuh hati atas dasar kesadaran diri tanpa ada pengaruh kepentingan, tekanan, dorongan serta pertimbangan orang lain. Ya, hanya atas dasar dari dalam diri sendiri. Ikhlas, dalam satu hadist disebut sebagai separuh dari kesadaran keagamaan seseorang.
Tidak mudah menjalankan berperilaku berstandar satu kata ini. Seseorang harus terbebas dari belenggu apapun baik dari internal dirinya maupun pengaruh luar. Pengaruh dari diri seperti rasa kesal, keengganan, malas-malasan, tidak total, mengomel termasuk kebanggaan, merasa paling hebat dan lainnya. Faktor luar lebih mudah terdeteksi seperti mengharap pujian sehingga terjebak riya, karena pertimbangan kepentingan terutama bagi seorang politisi, keinginan agar lingkungan sosial menghormati dan lainnya.
Dengan sedikit merobah tata cara beribadah faktor pengaruh luar bisa lebih mudah diatasi. Misalnya, memberi diam-diam tanpa ada orang lain tahu, berhaji atau umroh tanpa hura-hura dan hal teknis lainnya. Tetapi godaan dari dalam diri benar-benar jauh lebih sulit diatasi. Kadang sekalipun secara teknis sudah mampu menghindari keramaian dari dalam diri muncul egoisme kebanggaan. “Nah ini baru ibadah yang berkualitas. Tak ada orang lain tahu. Tak ada yang memonitor,” begitu biasanya muncul godaan yang lagi-lagi merecoki keikhlasan dalam beribadah.
Dalam konteks hubungan sosial banyak ajaran agama Islam memberi tuntunan bersifat teknis bagaimana membangun keikhalasan, menghindari sikap riya dan sejenisnya. Satu hadist misalnya menyebutkan jika memberi kalau bisa tangan kiri jangan sampai mengetahui. Atau, terkait kaitan tata cara bersedah Alquran menyebutkan bahwa perkataan yang baik, jauh lebih baik dibanding pemberian yang diikuti ucapan kurang menyenangkan.
Namun demikian hal-hal bersifat teknis itu lebih merupakan ukuran bersifat sosial, kasat mata. Hal-hal bersifat subtansi tetap tak mudah dinilai. Tetap ada pada diri sendiri. Karena itu banyak ayat alquran dan hadis menegaskan bahwa tak seorangpun mengetahui seberapa ketaqwaan keterikatan keagamaan seseorang. Diri sendiripun hanya merasakan atas dasar parameter kuantitatif sedang keseluruhan ibadah hanya Allah yang mengetahui.
Inilah mengapa Nabi Muhammad selalu mengingatkan ummatnya agar berhati-hati dalam menilai seseorang. Tidak gampang menghakimi seseorang apalagi melemparkan berbagai tudingan bid’ah, sesat sampai pada kata kafir. Lebih lagi ketika berbagai tudingan itu hanya atas dasar standar hal-hal bersifat elementer. Hanya karena perbedaan memahami satu hadist atau seseorang menggunakan hadist lain sehingga sedikit berbeda persepsi agamanya langsung dianggap sesat.
Sejarah mencatat ada saat mengejar kafir Marga Huraqah, bagian dari suku Juhainainah Usamah bin Zaid mengejar seorang kafir. Ketika berhasil mengepungnya tiba-tiba ia mengucapkan kalimat Laa ilaaha Illa Allah (tiada tuhan selain Allah). Namun Usamah tetap membunuhnya.
“Apakah engkau tetap membunuh setelah ia mengucapkan kalimat Laa ilaaha illa Allah?’ tanya Rasulullah. “Wahai Rasulullah, dia mengucapkannya karena takut kepada sanjata kami,” jelas Usamah. “Kenapa engkau tidak membelah dadanya sehingga engkau mengetahui apakah hatinya mengucapkan Laa ilaaha illa Allah karena ikhlas atauah karena alasan lainnya?” tegas Rasulullah.
Seperti diceritakan Usamah, perkataan itu selalu diulang-ulang Rasulullah menggambarkan kekecewaannya. Usamah sampai menyampaikan permohonan agar dimintakan ampun kepada Allah SWT atas kecerobohannya itu. Fragmen teologi itu mudah ditemukan dikumpulan hadist Bukhari Muslim.
Peristiwa bernuansa teologi ini memberi pelajaran berharga bagaimana keterikatan keagamaan selayaknya melahirkan harmonisasi hubungan sosial terutama di kalangan ummat Islam. Bahwa hanya dengan mengucanpkan separuh dari syahadat itu saja seseorang sudah haram darahnya. Apalagi ketika secara sosial seseorang diketahui dikenal sebagai muslim karena sholat, puasa, haji dan lainnya. Ikatan persaudaraan, pertemanan, hubungan sosial selayaknya terbangun dengan baik.
Imam Malik pernah melontarkan pernyataan menarik. Jika ditemukan seribu alasan untuk mengkafirkan seseorang, lalu ada satu alasan untuk tidak mengkafirkan, aku akan memilih untuk tidak mengkafirkan. Subhanallah, sebuah kehati-hatian luar biasa dalam menilai seseorang.
Inilah bangunan teologi Islam yang seharusnya mampu terwujud dalam hubungan sosial untuk menjalin persaudaraan indah. Jika ikatan separuh kalimat syahadat saja mampu membangun tali persaudaraan apalagi ketika parameter subtansi lain telah terlihat jelas dan hanya berbeda soal-soal elementer.