BANGKALAN, koranmadura – Carok di Madura menyedot perhatian penyair si Celurit Emas, D. Zawawi Imron. Penyair yang sekaligus Budayawan senior asal Batang-Batang, Sumenep, Madura, Jawa Timur ini, merasa terketuk hatinya untuk membicarakan lagi tentang carok, yang konon katanya, budaya khas Madura.
Waktu itu 1957, D. Zawawi Imron masih duduk di bangku Sekolah Rakyat, Desa Batang-Batang, Sumenep. Salah seorang teman sekelasnya, sebut saja Dul. Suatu siang, Dul tiba-tiba dijemput kerabatnya ke sekolah.
Si penjemput meminta Dul segera pulang ke rumah karena hari itu Pak Endut, bapak Dul, akan carok atau duel satu lawan satu menggunakan celurit dengan pemuda dari desa sebelah. Dul pun pulang.
Zawawi Imron tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu, sebab ia tetap di sekolah. Sepulang sekolah, barulah Zawawi tahu cerita carok itu, karena duel Bapak Dul itu jadi cerita ke seantero desa. Carok itu dilatari masalah perempuan, konon ibu Dul dilecehkan oleh pemuda dari desa sebelah.
Sebagai suami, Pak Endut tak terima istrinya diganggu. Singkat cerita, masalah itu hanya bisa diselesaikan dengan ‘aliran darah’. Pak Endut dan pemuda yang diduga mengganggu istrinya sepakat menyelesaikan masalah itu dengan carok.
Carok itu digelar di lapangan Desa Batang-Batang. Pada hari yang dijanjikan, ratusan orang berkerumun memenuhi lapangan. Ada yang bawa tikar, hingga ada yang nangkring di atas pohon, hanya untuk menyaksikan carok Madura itu.
Seperti pertandingan tinju, carok itu ditengahi seorang wasit. Dalam peristiwa carok, wasit disebut Lit. Mereka yang berduel harus patuh pada perintah dan keputusan Lit. Bahkan, dalam carok resmi, orang yang carok boleh minta waktu istirahat untuk makan dan minum sebelum duel dilanjutkan. Jeda istirahat ini terjadi, bila setelah saling serang tak ada yang terluka dari kedua belah pihak yang bercarok.
Pada peristiwa carok di Batang-Batang itu, Lit memutuskan menghentikan carok setelah Pak Endut dan lawannya sama-sama terluka. Tanpa ada korban jiwa. Lit menganggap, luka-luka itu telah sepadan untuk membela harga diri sebagai pria dan kepala rumah tangga. Dendam dua keluarga itu baru punah 25 tahun kemudian, setelah anak putu mereka bertemu dalam ikatan pernikahan.
Melihat peristiwa carok yang terjadi di tanah kelahirannya itu, penyair dan budayawan Madura, D. Zawawi Imron ini menilai tak ada lagi carok di Madura. “Kalau sekarang ini gak ada carok. Walau pakai senjata tajam, itu hanya perkelahian biasa,” kata dia, awal Maret lalu, saat dimintai pendapat soal peristiwa perkelahian dua keluarga di Desa Ketapang Timur, Kabupaten Sampang, Madura, Sabtu, 8 April lalu. Perkelahian yang dilatari isu santet itu menawaskan tiga orang.
Menurut Zawawi, dalam kamus Bahasa Madura karya Aziz Syafiudin, carok didefinisikan sebagai duel satu lawan satu pakai senjata tajam. Aziz adalah pakar hukum, menyandang gelar doktor. Ia putra Madura, kelahiran Desa Prenduan, Kabupaten Sumenep. “Kalau melihat kamus ini, carok yang sebenarnya carok satu lawan satu. Kalau lebih (di atas satu lawan satu), bukan carok lagi namanya,” ujar dia.
Zawawi mengatakan karena carok dengan Lit sudah tak ada lagi, maka setiap perkelahian yang menggunakan celurit disebut carok.
Terlepas dari polemik soal pemaknaan kata carok itu, Zawawi menilai kebiasaan carok sudah harus ditinggalkan. Kini, bukan lagi zamannya menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Sebab itulah, Zawawi membuat istilah ‘celurit emas’ untuk mengajak warga Madura meninggalkan carok.
Belakangan, celurit emas jadi judul salah satu antologi puisinya dan lebih dari itu ‘celurit emas’ menjadi julukan D. Zawawi Imron dalam dunia kepenyairan. (ALMUSTAFA/RAH)