Jika boleh berharap, Kartini selayaknya lahir di Madura. Perjuangan tokoh yang lahir tanggal 21 April itu pararel dengan realistas persoalan kehidupan masyarakat Madura yang masih menempatkan wanita seakan warga kelas dua. Budaya partriarki masih sangat kental di tengah-tengah masyarakat daerah yang terkenal sebagai Pulau Garam dan Pulau Kerapan Sapi itu.
Pada beberapa kasus, tingkat kekentalan kultur patriarki ini di kalangan masyarakat Madura kadang sampai taraf berlebihan hingga kurang memberi apresiasi sosial memadai. Kaum perempuan menempati ruang-ruang sempit, yang kadang agak terabaikan dari wacana sosial. Eksistensi perempuan seakan tenggelam dalam keperkasaan kaum laki-laki baik dalam lingkup terbatas maupun di wilayah publik.
Memang, dalam tiga dasa warsa belakangan ada peningkatan aktivitas perempuan di wilayah publik. Namun tetap lebih merupakan aktivitas dalam kultur patriarki; perempuan berada dalam desain pikiran serta kendali laki-laki. Inisiatif, kreativitas, serta ekspresi belum berkembang bebas dari kalangan perempuan. Ada semacam keharusan perempuan masih harus mendapat izin dan persetujuan laki-laki bahkan sepenuhnya dalam bingkai pengawasan ketat kaum laki-laki.
Dalam konteks rumah tangga, jika sebatas relasi dalam format komunikasi mungkin masih bisa dipahami. Tetapi jika sampai taraf membelenggu ekspresi, kreativitas, inisiatif kaum perempuan, dampak sosialnya akan sangat serius. Komunitas masyarakat Madura akan sulit berkembang dan berperan penting di tengah dinamika kehidupan sosial. Sangat mungkin masyarakat Madura tertinggal dibanding masyarakat daerah lainnya.
Di dunia ini, masyarakat yang masih hidup dalam kultur patriarki cenderung mengalami kemandegan dan keterlambatan dalam peran peradaban. Sebab, patriarki secara tidak langsung mengurangi dan bahkan bisa jadi membatasi potensi seluruh komunitas masyarakat tumbuh optimal. Ada posisi dan peran sosial yang tereduksi khususnya dari kalangan perempuan.
Ini sangat terkait langsung terutama dengan pengabaian potensi kaum perempuan sebagai kekuatan pendidikan. Jika kaum perempuan terbelenggu, terbatas aksesnya ke ruang publik akan terjadi pemiskinan pengetahuan. Dengan sendirinya proses peran pendidikan tidak dapat berjalan optimal sehingga generasi mendatang, sangat terbatas mendapat transfer pengetahuan.
Karena itu penting dengan melihat posisinya, para ulama, kiai, tokoh-tokoh agama Madura, mendorong mencairkan relasi laki-laki perempuan agar lebih memberi ruang ekspresi, membangun kesadaran hak masing-masing pihak, tanpa harus melabrak kondrat. Bagaimana pun kultul patriarki yang ekstrim, yang membiarkan penguasaan laki-laki pada perempuan secara berlebihan, dapat menghancurkan potensi kemampuan pendidikan perempuan dalam proses peningkatan kualitas generasi mendatang.
Perlu dirumuskan lebih segara hubungan laki-laki dengan perempuan dalam konsteks kepentingan kemajuan masyarakat Madura, tanpa harus melabrak peran kondrati perempuan. Moment peringatan Kartini mungkin bisa menyegarkan dan mengingatkan masyarakat bahwa ada yang perlu segera dibenahi terkait relasi sosiol kehidupan keseharian menyangkut posisi kaum perempuan. Perlu disegerakan perubahan cara pandang pada kaum perempuan yang selama ini seakan diletakkan sebagai warga kelas dua.
Ini tanggungjawab bersama baik kaum laki-laki maupun kaum perempuan untuk merobah cara pandang tradisional kurang berkeadilan yang sebenarnya jauh dari ajaran Islam, yang begitu ketat dianut masyarakat Madura. Itu jika ingin masyarakat Madura mencapai kemajuan dan memberikan kontribusi pada dinamika peradaban di negeri ini.(*)