Pasca kemenangan Anies-Sandiaga dalam Pilkada Jakarta merebak istilah radikalisme. Kemenangan Anies-Sandiaga bahkan disinyalir sebagai kemenangan kalangan ummat Isam radikal. Beberapa media asing sempat memberitakan penilaian serupa.
Berbagai bantahan pun muncul ke permukaan. Bahwa kemenangan Anies-Sandiaga merupakan realitas politik pilihan cerdas masyarakat Jakarta. Terpilihnya Anies-Sandiaga merupakan aspirasi masyarakat Jakarta yang justru menginginkan suasana tenang di Jakarta.
Dua arus pemikiran berbeda ini memiliki pijakan bangunan alasan rasional. Baik yang menuding maupun bantahan sama-sama memaparkan argumen yang bisa dipahami siapapun. Sehingga sulit memastikan hipotesa mana yang terbukti lebih kuat kebenarannya. Apalagi jika kemudian ingin ditarik ke dalam kajian-kajian akademik.
Inilah belantara politik yang sesungguhnya. Stigma, label, tudingan, bahkan sering diikuti proses hukum berupa pelaporan kepada aparat kepolisian, selalu mewarnai dunia bermuatan kekuasaan ini. Setiap kekuatan yang bertarung akan mengerahkan amunisi “lebeling” yang diharapkan menurunkan citra lawan politik dan makin menaikkan nilai elektabilitas dirinya. Semua kelemahan lawan dan kekuatan diri dieksploitasi lalu dipaparkan di publik dengan satu tujuan: menaikkan elektabilitas sendiri dan menghancurkan elektabilitas lawan politik.
Opini publik digiring kadang hanya atas dasar sebuah moment kecil. Kehadiran Anies di Markas FPI misalnya, digambarkan kedekatan pada kekuatan radikal. Ini terkait citra FPI sebagai kelompok yang selama ini dianggap dekat dengan tindak kekerasan. Demikian pula retorika Basuki Tjahya Purnama yang lebih dikenal Ahok. Karena sumpah serapah mudah terlontar dari dirinya, Ahok dianggap sosok biang ribut dan bisa membuat Jakarta gaduh jika terpilih lagi.
Begitulah permainan opini di belantara politik. Selalu –seperti prinsip seni masyarakat Bali- tidak boleh ada kayu yang terbuang; dalam sisi berbeda setiap sikap dan perilaku lawan politik sekecil apapun dimanfaatkan untuk amunisi serangan. Demikian pula hal-hal yang dianggap baik pada dirinya dieksploitasi semaksimal mungkin.
Seorang teman punya hipotesa bernada canda. Di politik, katanya, sulit bersikap ikhlas dan bahkan tak boleh ikhlas. Apapun yang dikerjakan perlu dipublikasikan kepada khalayak luas agar tahu lalu diharapkan bersimpati.
Sayangnya kesadaran bernuansa narsis ini kadang tak diikuti pemikiran resiko-resiko politik yang mungkin muncul. Anies mungkin kurang memperhitungkan kehadirannya di FPI sudah pasti akan memunculkan stigma buruk dianggap memberi angin pada kalangan radikal walau dalam keseharian dia dikenal sangat inklusif dan toleran. Demikian pula Ahok, yang sebut saja dalam berbagai konsepnya berupaya memanusiakan masyarakat miskin karena gayanya meledak-ledak lalu dianggap kurang memiliki naluri kemanusiaan.
Belantara politik memang penuh permainan opini. Seperti jati diri politik yang lekat dengan komunikasi maka berbagai aktivitas politik selalu dipenuhi atmosfir informasi dan komunikasi yang sudah pasti sesuai kepentingan dan tujuan kemenangan politik. Karena itu beralasan bila kalangan intelektual selalu mengingatkan masyarakat jangan mudah terpesona atau tertipu berbagai jargon kampanye politik yang sebenarnya bermuatan tujuan instan meraih kemenangan.
Masih ingat kampanye Pilpres Amerika Serikat ketika Donald Trump begitu “kejam” memperlihatkan kebencian pada Islam? Semuanya tak lebih dari retorika mengeksploitasi ketakutan masyarakat AS pada aksi teroris, yang diplesetkan seakan identik dengan Islam. Pasca Trump berhasil menang kegarangan pada komunitas Islam pelan-pelan menurun. Kegarangan kampanye berubah drastis menjadi begitu realistis dan pragmatis.
Politik selalu dirancang untuk menyederhanakan masalah –untuk tidak menyebut sebagai memanipulasi masalah. Kadang politik sengaja dibangun untuk mengembangkan kesalahan logika; biasanya melalui pendekatan satu kasus di tengah masyarakat lalu disebarkan sebagai representasi komunitas besar masyarakat. Bisa sebagai amunisi menyerang lawan politik, bisa sebaliknya sebagai eksploitasi atau narsis diri jika bernuansa kebaikan.
Di sinilah penting berpijak di bumi. Bersikap rasional dan tidak mudah larut dalam permainan opini. Penting mengembangkan sikap rasional dan menghindari irrasional; sesuatu yang justru dipentas politik diaduk-aduk demi tujuan kepentingan politik. Terasa sekali di sini ada pembalikan logika wajar yang justru dikembangkan di pentas politik.
Mungkin menarik dan layak dicermati ungkapan yang menegaskan bahwa di politik jangan mendengar yang diucapkan dan membaca yang tertulis. Kebenaran dalam politik hampir selalu ada pada yang belum terucapkan dan belum tertulis. Karena itu dengarkan yang belum diucapkan dan bacalah yang belum tertulis. Itu jika ingin selamat dari perangkap permainan politik, di manapun di belahan bumi ini. Ahai…. (*)