BEKASI,koranmadura.com – Melihat Spanduk Soto Lamongan dan pecel lele begitu ikonik, karena semua hampir seragam, padahal dibuat manual dengan tangan manusia.
Menurut Hartono, salah satu perajin spanduk lukis yang kian langka, hal tersebut karena kiblat belajarnya tidak banyak, bahkan yang bagus dulu dahulu hanya satu di Lamongan.
“Dulu awal mulanya tahun 78-79 itu hanya satu pelukis di Lamongan, nggak banyak yang berani usaha ini. Kemudian anak buahnya lah yang buat lagi, hasil belajar dari orang pertama itu,” kata Hartono pada KompasTravel di rumahnya Bekasi, Selasa (30/5/2017).
Hartono mengenal dekat salah satu pelukis pertamanya di Lamongan. Namanya Teguh yang sempat beradu kemahiran melukis dengan Hartono di lomba lukis tingkat kabupaten saat SMA.
Spanduk lukis tersebut sudah mulai berkembang di tahun 2000 awal. Beberapa “anak buah” yang belajar di Teguh mulai membuka usaha sendiri di beberapa daerah di Lamongan, dan mengirimnya hingga Jakarta.
Selain karena kiblatnya sedikit, usaha ini pun, lanjut Hartono, perlu keahlian khusus. Bahkan dia pun mengaku sulit mencari karyawan, karena jarang yang punya keahlian lukis bagus dan mau bekerja di usaha ini.
Sehingga bisa dibilang, para perajin yang eksis hingga kini masih menghadap ke satu kiblat yang sama, di Lamongan.
Meski begitu, menurut Hartono, yang membedakan ialah sedikit inovasi dalam teknik pewarnaan, juga kualitas tinta dan bahan kain yang berbeda, sehingga kualitas antar-perajin berbeda.
“Walaupun sama, tetap punya ciri khas, kalau dari Lamongan asli corak warnanya banyak, lebih berani dan menyala warnanya. Sekarang ada ‘gaya’ Brebes dan Tegal yang beda,” ujarnya.
Menurut pengalaman salah satu pelanggannya, Achmadi penjual Soto Ceker Pak Dhe di Bekasi, spanduk lukis Soto Lamongan dan pecel lele tersebut berpengaruh pada penjualan.
“Pembeli itu lebih yakin aja, pedagang soto yang pakai spanduk lukis, lebih asli, lebih serius dan mengurangi keraguan,” ujar Achmadi yang sedang memesan spanduk lukis di Hartono, Selasa (30/5/2017). (KOMPAS.com)