Ini tentang cerita seorang teman yang aktif sebagai khotib di Jakarta. Ia yang selalu memilih materi terkait persoalan sosial dalam berkhotbah pernah diadili seorang jamaah sholat Jumat. Apa pasal? Sederhana. Ia dalam kesempatan itu mengupas tentang bagaimana bersikap cerdas sebagai rakyat menghadapi pemimpin terpilih.
“Usai Pilkada Jakarta tugas ummat belum selesai. Justru baru dimulai. Kita haus mengawal janji pemimpin terpilih agar melaksanakan janjinya. Kita harus mengawasi kinerjanya agar senantiasa berada di jalan yang benar. Kita harus mengkritisi pemimpin yang kita dukung bila ternyata melakukan kekeliruan. Itu antara lain materi khotbah saya,” katanya.
Usai khotbah seorang jamaah seperti diceritakannya mendekat dan melontarkan kalimat bernada sinis. “Khotbah ustad seperti kurang mendukung kemenangan Anies-Sandi. Ustad terkesan justru seperti lebih banyak mempersoalkan terpilihnya Anies-Sandi,” cerita kawan.
Dengan halus, seperti diceritakannya, ia mencoba memberi penjelasan bahwa mendukung seorang pemimpin tidak membiarkan begitu saja usai memilih. Justru dukungan yang sesungguhnya ketika seorang pemimpin menjalankan tugas kepemimpinan. “Di periode kepemimpinannya ummat harus mengawasi, mengingatkan, mengkritisi agar senantiasa amanah,” katanya, mencoba memberi pengertian pada jamaah yang sangat bersemangat itu.
Mengkritisi dan mengawasi tambahnya lagi, tidak berarti permusuhan dan kebencian. Kritik bagian dari dukungan demi keberhasilan kepemimpinan seseorang. Mendukung tak berarti membiarkan seorang pemimpin bekerja tanpa pengawasan.
Tentu saja, masih kata kawan tadi, kritik terbaik bersifat konstruktif, membangun dan bukan atas dasar sinisme politik. Kritik bernuansa mengawasi dan memberikan solusi. “Kritiklah seperti memanasi besi lalu meluruskan. Jangan mengkritik seperti membakar kayu hingga habis semuanya tanpa sisa,” jelas khotib muda itu, memberikan perumpamaan.
Teman tadi juga memaparkan dalam khotbahnya bahwa dalam agama Islam mengkritisi dan mengawasi memimpin bukan hanya harus tapi wajib sebagai bagian dari tanggungjawab amar ma’ruf nahi munkar. Keberhasilan kepemimpinan sebagian justru karena adanya pengawasan dan kritik dari orang-orang yang dipimpin. Demikian pula sebaliknya, seringkali kegagalan seorang pemimpin terjadi antara lain karena rakyat yang dipimpin membiarkan berbagai kesalahan pemimpin. Berulang kali pemimpin berbuat salah dibiarkan.
“Karena pemimpin berbuat salah didiamkan, ia merasa apa yang dilakukan benar. Ia makin berani melakukan kesalahan sehingga makin lama bukan amanah rakyat yang dijalankan melainkan kesalahan yang bisa jadi kepentingan dirinya, kepentingan kelompoknya. Pelan-pelan bahkan makin membuat dirinya merasa paling benar. Ia bukan lagi melayani rakyat tapi rakyatlah yang dipaksa melayani dirinya,” katanya, menjelaskan.
Inilah bila dukungan dimaknai sebagai penyerahan segalanya kepada pemimpin seakan memberikan hak untuk melakukan apapun. Padahal dukungan merupakan respon aktif karena visi misi, janji, semangat dari pemimpin sejalan kepentingan rakyat pendukung. Karena rakyat merasa memiliki harapan akan dipenuhi kepentingannya ia memilih seseorang menjadi pemimpin. Bukankah menjadi kewajiban rakyat mengawal, menuntut, mengawasi pemimpin agar bekerja sesuai apa yang dijanjikan, sesuai visi dan misinya.
Inilah relasi pemimpin dan rakyat pendukungnya bila ingin kepemimpinan senantias berjalan di jalur yang benar. Rakyat pendukung selalu menjadi bagian dari seluruh kinerja kepemimpinan. Rakyat dilayani kepentingannya sesuai janji saat kampanye. Seluruhnya berjalan rasional dan bukan emosional cinta buta.
Jadi mengawasi bukan atas dasar kebencian tapi rasa cinta dan dukungan. Mengkritisi bukan mempreteli tapi merivisi jalan kepemimpinan agar kembali dalam bingkai janji dan visi misi. Itu jika ingin kepemimpinan memberikan manfaat bagi seluruh rakyat tanpa kecuali.