Puasa ramadhan yang akan dilaksanakan ummat Islam di seluruh dunia mulai akhir pekan ini merupakan ibadah spesial baik dari aspek spiritual maupun sosial. Dari aspek spiritual, inilah ibadah yang menegaskan hubungan transendental bersifat sangat personal antara manusia dengan Sang Maha Kuasa. Faktor-faktor di luar pribadi yang melaksanakan puasa sama sekali tak memiliki persambungan nilai. Puasa benar-benar sepenuhnya hubungan personal yang menjalaninya dengan Sang Maha Kuasa.
Karena sifat sangat personal itulah kualitas puasa seseorang hanya dirinyalah yang mengetahui seberapa jauh mampu meningkatkan kualitas keterikatan kepada yang Sang Maha Kuasa. “Puasa itu untukKu,” kata sebuah hadist qudsi, yang menegaskan betapa kental nilai spiritual personal ibadah puasa.
Pada sisi lain secara sosial puasa merupakan ibadah tergolong bersifat aplikatif terkait relasi antar manusia. Melalui ibadah puasa seakan Sang Kuasa memberikan stimulus dorongan agar manusia mampu membangun relasi antar manusia khususnya menyangkut kepedulian, empati, simpati dan perhatian kepada orang-orang yang kurang beruntung. Melalui ibadah puasa Allah juga seperti mengingatkan secara tajam bahwa agama sebenarnya dalam konteks sosial sepenuhnya bertujuan demi kemaslahan manusia; demi menyelamatkan nilai kemanusiaan.
Banyak ajaran agama Islam menegaskan tentang perintah tegas kepedulian kepada sesama. Bahkan kepedulian pada sesama dalam bentuk zakat, infaq, sadaqah secara sosial menjadi ukuran utama kualitas keterikatan keagamaan. Jika perilaku kepedulian sosial itu tidak diwujudkan dalam kehidupan keseharian ajaran Islam menegaskan bahwa sebenarnya manusia seperti itu belum beragama. Mereka hanya secara formal saja memperlihatkan keterikatan dan kesalehan spiritual namun semuanya sama sekali jauh dari subtansi keterikatan agama.
Mereka hanya terlihat beribadah kepada Allah namun tidak melaksanakan perintah utama menjaga dan mempedulikan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka terlihat mendekati Allah namun karena pesan-pesan sosial Allah diabaikan jarak mereka dengan Allah justru semakin jauh. Bagaimana mereka mengaku taat beribadah kepada Allah sementara subtansi tujuan ajaran Allah agar pada peduli sesama diabaikan.
Para sufi memiliki standar menarik ketika menjelaskan tentang sebuah peribadatan apakah mendapat ridha Allah atau tidak. “Itu terlihat jika ibadah yang dilaksanakan memberikan manfaat pada sesama,” kata seorang sufi. Jika peribadatan kepada Allah sama sekali jauh dari menghasilkan manfaat kemanusiaan, sebagaimana ditegaskan dalam satu surat Al Qur’an bahkan disebut seorang sebuah kepura-puraan beragama.
Di sinilah pemikiran yang menyebut ibadah puasa seperti stimulus Allah tentang nilai penting kepedulian. Melalui rasa lapar dalam menjalankan puasa manusia diingatkan tentang nestapa orang lain yang nasibnya kurang beruntung. Seakan Allah menegaskan dengan keras bahwa berbagai tuntutan kepedulian pada sesama sudah berderet tercamtum dalam al Qur’an namun belum menggerakkan langkah manusia. Kini coba rasakan nestapa orang-orang yang kurang beruntung; yang hidup bergelimang derita; yang kadang sama sekali tak memiliki kenyamanan dalam menyambung kehidupan.
Sangat dasyat sebenarnya nilai-nilai dan pesan moral sosial ajaran dalam ibadah puasa. Sebuah peribadatan yang seharusnya mampu mengembalikan nilai kemanusian sehingga terwujud persambungan persaudaraan antar sesama.
Jika begitu banyak ajaran Islam, yang puncaknya melalui ibadah puasa agar peduli pada sesama, agar menyelamatkan nilai kemanusiaan, bukankah terasa ironis jika kemudian ada sekelompok manusia mengatasnamakan agama melakukan pembunuhan kepada orang-orang yang tak bersalah sebagaimana terjadi baru-baru ini di Mancherter, Inggris dan Bom Kampung Melayu, Jakarta. Bukankah berbagai tindak kekerasan itu sangat jelas kontradiktif dengan ajaran agama Islam yang memerintahkan kepedulian pada sesama. Dimanakah persambungan tindakan kekerasan pembunuhan dengan ajaran agama Islam yang diturunkan untuk manusia, agar menyelamatkan nilai kemanusiaan.
Inilah tragedi kemanusian yang terpampang tragis dengan mengatasnamakan keyakinan agama. Sebuah tindakan yang sebenarnya merupakan manipulasi ajaran agama demi “hanya” sebuah kepentingan kekuasaan.
Semoga ibadah puasa, yang akan dijalani ummat Islam di seluruh dunia menjadi momentum penyegaran kemanusiaan, yang dapat disumbangkan pada terwujudnya perdamaian dan kesejahteraan ummat manusia khususnya bagi rakyat Indonesia.