Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sudah divonnis. Lalu, apalagi? Masihkah masyarakat negeri ini terbenam dalam persoalan yang sudah diputuskan pengadilan? Berapa energi lagi yang harus dikeluarkan masyarakat untuk masalah yang sebenarnya sudah berada di jalur proporsional? Bukankah masih banyak agenda bangsa ini yang perlu diselesaikan?
Siapapun boleh puas dan tidak puas terhadap keputusan pengadilan. Pendukung Ahok sebagian besar boleh saja kecewa karena misalnya menganggap terlalu berat atau bahkan ada yang berpendapat seharusnya Ahok diputuskan bebas. Mereka yang dari awal berjuang agar Ahok mendapat sanksipun beragam. Ada yang legawa tapi ada yang menganggap keputusan pengadilan terlalu ringan.
Inilah dinamika pemikiran masyarakat, yang dari perspektif sosial sebenarnya wajar saja terjadi. Sesuatu yang manusiawi. Sesuatu yang bahkan boleh disebut sunnatullah perbedaan pemikiran di antara banyak orang.
Persoalan mengemuka ketika berbagai perbedaan itu justru bergerak liar “mencincang” keputusan pengadilan. Ini menggambarkan sebuah penurunan kualitas dinamika sosial. Sebuah lembaga yang secara formal dipercaya sebagai pintu penyelesaian masalah namun dalam prakteknya justru banyak digugat, diprotes atas dasar lebih banyak pertimbangan kepentingan. Sudut pandang yang berkembang bukan obyektivitas hukum tetapi lebih karena merasa kepentingannya belum terpenuhi.
Sebenarnya manusiawi merebak ketakpuasan. Pengadilan berisi manusia dan tak ada keputusan manusia apalagi hanya beberapa orang dapat memuaskan semua orang dalam jumlah ratusan bahkan jutaan. Selalu ketakpuasan muncul.
Di sinilah penting dikembangkan paradigma pemikiran memposisikan pengadilan sebagai pintu penyelesaian masalah yang ada di tengah masyarakat. Dengan kepercayaan dan penyerahan penyelesaian masalah ke pengadilan diharapkan sekurangnya mengatur lalu lintas persoalan kemasyarakatan. Atau lebih mendasar lagi menjadi solusi pemecahan masalah yang terjadi di tengah masyarakat.
Inilah pilihan paling mencerminkan rasioanalitas masyarakat serta menggambarkan tingkat peradaban sebuah masyarakat. Melalui proses pengadilanlah berbagai persoalan di tengah masyarakat diselesaikan.
Kedua, kesedian menerima keputusan pengadilan. Ini paradigma pemikiran penting lainnya yang menjadi faktor penyelesaian persoalan di tengah masyarakat. Pengadilan disepakati sebagai institusi penyelesaian masalah karena itu seharusnya keputusan apapun diterima legawa. Apalagi pengadilan pun menyediakan proses kontrol untuk ruang ketakpuasan melalui banding, kasasi dan bahkan peninjauan kembali (PK).
Ketiga, konsistensi proses. Ketika telah memilih pengadilan sebagai institusi penyelesaian masalah seharusnya melalui proses inilah segala sesuatu harus ditempuh. Biarkan proses peradilan berlangsung tuntas sampai titik paling akhir.
Sebagaimana ditegaskan sebelumnya mungkin saja merebak ketakpuasan terhadap keputusan pengadilan. Namun karena pilihan telah ditegaskan bahwa pengadilan sebagai institusi penyelesaian masalah seharusnya betapapun –katakanlah- belum memuaskan, kesediaan menerima tetap merupakan pilihan terbaik.
Sikap legawa inilah yang selayaknya dikembangkan baik dari para pendukung Ahok maupun yang menganggap Ahok bersalah. Silahkan ditempuh mekanisme hukum lainnya, jika para pendukung Ahok tidak puas. Sementara mereka yang berbeda dipersilahkan menunggu proses hukum selanjutnya.
Tak perlu lagi berbagai aksi massa dijadikan pilihan ketika proses hukum masih berlangsung. Bentuk simpati atau antipati selayaknya tanpa ada lagi bernuansa provokasi yang dapat mengundang atau menciptakan persoalan baru.
Masih banyak pekerjaan besar lain yang terbentang di depan mata. Berlarut-larut dalam satu masalah sudah tentu akan mengabaikan dan membuat masalah lain terbengkalai. Lalu kapan bangsa ini beranjak ke depan jika “asyik” berlarut-larut dalam satu masalah? Kita semua yang seharusnya menjawab dengan sikap dan perbuatan. (*)