Rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan kebijakan delapan jam belajar dalam lima hari menimbulkan perdebatan hangat. Ada kalangan yang memberikan dukungan, namun tak sedikit justru menolak implementasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) program menteri baru itu.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendiy menjelaskan ada lima nilai utama yang akan dikembangkan dalam program kebijakan full day school itu, masing-masing nilai religius, nasionalis, gotong-royong, mandiri, dan integritas. Proporsinya lebih banyak ke pembentukan karakter yaitu sekitar 70 persen dan pengetahuan 30 persen.
Dengan pendekatan baru itu, para guru akan diarahkan mengurangi ceramah di kelas dan diganti aktivitas positif, seperti mengikuti madrasah diniyah bagi siswa muslim. Guru wajib mengetahui dan memastikan siswanya mengikuti proses pelajaran agama sebagai bagian penguatan religiusitas.
Sebagai upaya baru, kebijakan Kemendikbud ini menarik dikaji dari sudut pemikiran kepentingan pendidikan, yang selama masih terbelanggu banyak masalah, seperti problema muatan kurikulum yang dianggap terlalu berat; materi-materi pelajaran terlalu banyak sehingga sangat membebani anak didik dalam belajar. Termasuk kecenderungan menjejali anak didik dengan berbagai pelajaran yang sebenarnya tidak menjadi kebutuhan peserta didik. Tidak juga menjadi pilihan mereka.
Selain itu, selama ini dunia pendidikan cenderung menekankan teori dengan metode ceramah, sangat monoton. Sementara kebutuhan praksis terkait pembinaan moral, karakter, dan mental relatif kurang mendapat perhatian. Anak didik akhirnya lebih banyak sekadar memahami teori daripada menerapkan berbagai pelajaran yang diperoleh di sekolah.
Sistem pendidikan delapan jam, dalam proses belajar minim ceramah itu, jika konsepsi PPK ini dapat berjalan baik, dapat membangkitkan kegairahan anak didik. Apalagi ada penambahan durasi waktu libur yang lebih banyak –Sabtu sampai Minggu- sehingga memberi jeda lebih panjang pada anak didik untuk istirahat dan berkumpul bersama keluarga.
Hal menarik lainnya, dengan sistem pendidikan delapan jam ini, seluruh anak didik akan lebih banyak berada dalam bimbingan dan pengawasan orang tua. Jadi, ketika anak sampai di rumah, relatif lebih cepat bertemu para orang tua. Dengan begitu, kemungkinan terjadi perilaku kurang baik di luar kontrol orang tua dapat ditekan.
Orangtua kerapkali disibukkan dengan urusan mencari nafakah, sehingga kurang punya waktu mengontrol pergaulan anak-anaknya, sehingga kenakalan remaja tak kunjung bisa diatasi. Sistem FDS ini kiranya menjadi upaya penyelamatan mereka dari tindak penyimpangan.
Persoalan bersinggungan dengan pendidikan madrasah diniyah, yang menjadi alasan penolakan masyarakat akan program FDS ini, ditepis Mendikbud. Menurutnya, FDS seharusnya tidak perlu disinggungkan dengan program diniyah, karena melalui pendidikan delapan jam ini, misih madrasah justru akan lebih berperan aktif, karena akan ada proses integrasi pendidikan di antara keduanya.
Apalagi jika PPK ini benar-benar lebih diarahkan ke pendekatan multi metode dan menghindari ceramah, seperti praktik, sosialisasi, simulasi, diskusi interaktif, dan varian kreatif lainnya, diyakini akan berdampak bagi mutu pendidikan.
Pertemuan antara Dirjen Dikdasmen dan Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama beberapa waktu lalu patut diapresiasi, untuk membangun sikap saling pengertian sebagai titik awal sinergi pendidikan umum dan madrasah. Jadi, tidak mengabaikan madrasah. Justru lebih mengoptimalkan peran madrasah melalui sinergi positif dan konstruktif.
Melalui konsep PPK ini diharapkan terwujud lebih intens peran madrasah dengan peran baru terintegrasi dengan pendidikan umum. Di luar persoalan kebijakan dan konsepsi semua pihak yang berperan dalam dunia pendidikan, perlu dipersiapkan secara matang penerapan PPK. Ini penting, karena belum sepenuhnya sekolah-sekolah siap menerapkan program baru itu. Ketidaksiapan itu baik dari sisi sarana di sekolah maupun ketersediaan anggaran untuk proses belajar delapan jam tersebut. Tidak hanya anggaran jajan dan makan siang peserta didik yang bertambah, tapi makan guru PNS, nonPNS, dan tenaga kependidikan lainnya juga bertambah, ini sangat memberatkan mereka. (*)
*Kolomnis tinggal di Jakarta