SUMENEP, koranmadura.com – Sejak dirazia di wilayah perkotaan, gelandangan, dan pengemis (gepeng) banting setir menyasar warga pedesaan.
“Hampir tiap hari pengemis ada. Tadi pagi ada pengemis ke rumah,” kata Titin, salah seorang warga Kecamatan Ganding, Rabu, 14 Juni 2017.
Senada dikatakan oleh Maysaroh, warga Desa Lobuk, Kecamatan Bluto. Menurutnya, bagai terorganisir, mereka datang silih berganti, nyaris setiap hari. Dikhawatirkan mereka tidak hanya mengemis, tapi bisa jadi saat warga lengah ada di antara mereka melakukan pencurian, seperti terjadi di Pamekasan baru-baru ini.
Modus yang dilakukan untuk memikat hati masyarakat beraneka ragam. Ada sekadar bermodal gayung, mengajukan proposal, menjual fotokopi doa-doa, bahkan ada pula yang menjual surat Yasin (Alquran).
“Terkadang ada yang berpakaian semrawut. Ada juga yang berpakaian bagus. Ada pula yang bawa anak-anak dan dikatakan anak yatim,” jelasnya.
Untuk menjaga kondusivitas masyarakat, dia meminta pemerintah melakukan razia para gepeng baik di kota-kota sampai di pedesaan.
“Kalau tidak melakukan razia, minimal dilakukan pengawasan. Siapa tahu mereka berkedok gepeng, tapi dia penjahat. Kan masyarakat nanti yang jadi korban,” ujarnya.
Menurutnya, apabila aksi para gepeng ini tidak ditangani oleh petugas berwajib, suatu saat nanti, bukan mustahil, akan memicu kemarahan warga yang berujung pada penghakiman massa.
Sementara Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Sumenep, R. Akh Aminullah mengatakan selama ini penertiban pengemis hanya difokuskan seputaran kota. Hingga saat ini, Dinsos mengklaim masih belum dapat laporan sehingga tidak bisa melakukan penertiban di desa.
“Dinsos masih fokus di wilayah kota dulu. Untuk gepeng yang katanya sudah masuk ke pelosok desa, belum bisa kami tertibkan,” jelasnya. (JUNAIDI/RAH)