Beberapa hari lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sebagai respons merebaknya kecenderungan penyalahgunaan media sosial (Medsos). Dalam fatwa MUI itu antara lain disebutkan larangan menyebarkan berita bohong, memfitnah, mengadu domba, bergunjing, dan lainnya.
Secara itikad fatwa MUI itu memang bertujuan baik yaitu memberi pedoman kepada masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, bagaimana berkomunikasi dan menggunakan media sosial. Apalagi belakangan ini praktis media sosial telah keluar dari fungsi keberadaannya, dipenuhi ujaran-ujaran kekerasan, caci maki, permusuhan, dan unsur-unsur negatif lainnya.
Kominfo, misalnya, mencatat ada peningkatan empat kali lipat aduan konten bila dibandingkan dengan 2016. Jumlah aduan email yang masuk keaduankonten@mail.kominfo.go.id2016 mencapai 6.357 aduan. Sedangkan aduan semenjak Januari sampai 25 Mei 2017 ini sudah menyentuh angka 25.179 aduan.
Presiden Jokowi sampai beberapa kali mengingatkan rakyat Indonesia agar menahan diri dengan tidak mengumbar berbagai ujaran-ujaran kasar dan permusuhan di media sosial. Sebuah gambaran betapa seriusnya persoalan komunikasi di Medsos di tengah masyarakat negeri ini.
Karena itu, fatwa MUI yang keluar bertepatan momen pelaksanaan bulan puasa diharapkan mampu meredam perilaku masyarakat untuk tidak lagi menyalahgunakan media sosial. Masyarakat terutama kalangan umat Islam agar menyadari bahwa penyalahgunaan media sosial secara normatif sesuai ajaran agama Islam memiliki konsekwensi sanksi moral. Fitnah, adu domba, caci maki, berita bohong, bergunjing, dan lainnya berdasarkan ajaran agama Islam sangat terlarang.
Fitnah berdasarkan ajaran Islam dianggap lebih berbahaya daripada pembunuhan. Hal ini terutama terkait dampaknya yang besar bila fitnah menyebar di tengah masyarakat. Bukan hanya persoalan satu dua orang yang akan menjadi korban. Fitnah yang tersebar sistematis, adu domba diwarnai bumbu-bumbu ujaran kekerasan bisa menciptakan kerusuhan besar, konflik horizontal di tengah masyarakat yang sangat mungkin dapat menyebabkan jatuhnya korban dalam jumlah besar.
Melalui fatwa MUI diharapkan masyarakat memahami dan menyadari bahwa berbagai ujaran kasar, permusuhan, fitnah, adu domba, dan berita bohong di Medsos bukan tanpa konsekwensi moral sehingga seakan terlepas dari ajaran agama Islam.
Jika dari segi hukum saja berbagai ujaran negatif itu dapat memasuki ranah tindak pidana apalagi dari parameter ajaran agama.Di sinilah terasa urgensi fatwa MUI. Ada semangat meredakan ketegangan dan amarah yang harus diakui masih terasa di tengah masyarakat.
Ada proses pencerahan yang diharapkan mampu mengembalikan perilaku masyarakat Indonesia agar tampil lagi sesuai jati diri sebagai bangsa yang memiliki keramahan, sopan santun, semangat persaudaraan kuat, dan karakter positif lainnya.
Pada peran seperti inilah selayaknya MUI sering tampil di tengah masyarakat sehigga ketika ada ketegangan dapat segera terselesaikan. Jika ada aroma panas menyebar, MUI hadir dan tampil mendinginkan, mendorong masyarakat kembali berpikir rasional, jauh dari emosional.
Di tengah perbedaan-perbedaan pilihan politik yang kadang menimbulkan riak-riak panas misalnya, MUI hadir menebarkan angin sejuk sehingga masyarakat tidak terseret ketegangan yang potensial menimbulkan konflik kekerasan.
MUI di sini menjadi kekuatan moral yang menyadarkan masyarakat agar kembali berjalan melalui rambu-rambu hukum.Ada ungkapan menarik, jika tokoh agama menjalankan sungguh-sungguh ajaran agamanya, benar-benar menjadi kekuatan moral, ketegangan apapun yang ada di tengah masyarakat akan jauh lebih mudah diselesaikan.
Sebaliknya, bila tokoh agama menjadi bagian dari kepentingan politik, ikut terseret sebagai partisan, ketegangan bukan mencair bahkan potensial makin membara, menebarkan aroma panas di tengah masyarakat. (*)