Apa belanja masyarakat Indonesia yang relatif besar tapi kurang disadari tingkat keborosannya? Jawabannya singkat: Pulsa. Ya ternyata belanja pulsa tergolong sangat besar. Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf akhir tahun 2015 pernah memperkirakan bersama Sekjen Kemenkominfo Prawoto belanja pulsa masyarakat Indonesia pertahun ternyata mencapai sekitar 350 trilyun. Wow.
Perkiraan hampir dua tahun lalu itu bisa meleset sehingga kemungkinan angkanya bisa lebih besar. Kalau toh lebih kecil kemungkinannya tak jauh berbeda. Ini bisa dilihat kasat mata munculnya kios-kios pulsa yang bagai jamur di musim hujan. Sangat mudah terlihat mata.
Data pendukung lainnya terkait jumlah nomor ponsel aktif, yang disebut mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ternyata mendekati dua kali jumlah penduduk negeri ini. Artinya sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki lebih dari satu ponsel.
Data lainnya tentang pengguna internet yang di negeri ini yang diperkirakan sudah mencapai lebih dari 150 juta. Dari sini saja terpampang jelas berapa pemakaian kuota. Dengan ponsel belakangan sebagian besar sudah menggunakan sistem android praktis penyedotan pulsa berlangsung sepanjang hari.
Belanja pulsa masyarakat Indonesia pernah disinyalir pula jauh lebih besar dari belanja listrik. Karena itu benar bila belakangan ini pulsa sudah masuk katagori kebutuhan pokok mengikuti beras dan rokok. Tanpa pulsa mulai terasa seperti tanpa rokok; terasa asem di mulut.
Bergairahnya masyarakat membelanjakan uangnya untuk membeli pulsa sempat pula disinggung Presiden Jokowi. Saat secara simbolis menyerahkan Kartu Indonesia Pintar awal tahun mengingatkan agar dana bantuan tidak digunakan untuk beli pulsa. “Tidak boleh untuk beli pulsa. Jangan sampai dipakai beli pulsa,” katanya.
Pernyataan Presiden Jokowi itu isyarat sangat jelas fenomena maniak pulsa yang merebak di tengah masyarakat. Pulsa seperti disebut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sudah sampai taraf menyandera masyarakat Indonesia. Sebuah gambaran ketergantungan luar biasa sehingga mirif kecanduan.
Mencermati angka belanja pulsa yang luar biasa itu bila memang untuk hal produktif tentu tak ada masalah. Namun fakta memperlihatkan dengan hanya menganalisa acak saja hampir bisa dipastikan sebagian besar belanja besar itu lebih digunakan hal kurang produktif. Beberapa bagian bahkan justru kontra produktif alias menciptakan masalah baru. Fenomena penyebaran kebencian, caci maki, fitnah, manipulasi informasi, hoax, yang juga pernah disinggung Presiden Jokowi merupakan bentuk riil penyalahgunaan pulsa.
Yang makin membuat miris “wabah” pembelanjaan pulsa itu bahwa realitas provider di negeri ini sebagian besar milik asing. Barangkali hanya Telkom yang milik Indonesia. Itupun 30 persen sudah terjual ke pihak luar. Ini artinya, belanja besar pulsa tanpa disadari ternyata memperkaya pundi-pundi pemilik provider yang sebagian besar bukan warga negeri ini. Alamak.
Tergambar sangat jelas betapa persoalan pulsa ternyata efek dominonya sangat kompleks: pemborosan, kurang produktif bahkan kontra produktif, hanya memperkarya pemilik asing, mencerminkan kurangnya prioritas belanja masyarakat sehingga mengabaikan hal-hal yang jauh lebih penting dan masih lebih banyak lagi kemubaziran lainnya. Diakui atau tidak kembali masyarakat Indonesia menjadi korban kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, bukan menjadi kekuatan yang mempu mengefektifkan manfaatnya. Yang terjadi justru lebih banyak kecenderungan salah guna alias penuh kemubaziran.
Rasanya sangat urgen dikampanyekan perlunya lebih memprioritaskan belanja untuk hal-hal produktif ketimbang membeli pulsa. Atau, ayo di moment puasa yang bermuatan semangat mengendalikan diri mulai berubah sikap memanfaatkan kemajuan informasi dan komunikasi agar cost besar yang keluar menghasilkan manfaat besar. Ayo berkomunkasi secara produktif agar uang yang keluar tak sia-sia.