Sebagian besar masyarakat negeri ini yang menggunakan fasilitas komunikasi whatsapp, BBM dan lainnya pernah membaca kata “viral.” Biasanya kata itu ada diujung informasi atau pesan yang diterima, baik dalam komunikasi personal alias jaringan pribadi atau di lingkungan group. “Ayo Viralkan,” begitu biasanya tertulis diakhir pesan.
Apa arti kata itu? Kata viral memang tergolong baru dalam perbendaraan bahasa Indonesia. Namun walau banyak yang kurang mengerti arti secara sintaksis sebagian besar masyarakat penerima kata “viral” memahami maksudnya. Bahwa pesan berisi berita atau informasi itu perlu disebarkan, dibuat geger, jadi perhatian agar masyarakat luas terpengaruh, terpanggil mengikuti maksud dari pesan itu.
Berasal dari kata virus dan virtual kata viral yang berasal dari bahasa Inggris memang bermakna tidak jauh dari karakter virus yang mudah menyebar dan virtual yang berarti tidak nyata. Intinya ya itu tadi, diviralkan berarti disebarkan luas secara cepat agar jadi berita dasyat.
Dari pengertian dan maksud kata viral yang belakangan mulai menyebar sehingga akrab di tengah masyarakat dan bahkan masyarakat sudah menjadi bagian dari proses “memviralkan” ada sesuatu yang tidak disadari berubah luar biasa dalam kehidupan sosial masyarakat negeri ini. Pertama, kemajuan dan kemudahan komunikasi telah melibatkan masyarakat dalam proses penyebaran berita. Diam-diam masyarakat belakangan ini yang sebelumnya sekedar menjadi konsumen berita mulai berperan aktif sebagai penyebar dan bahkan pembuat berita.
Secara bercanda, sekarang ini masyarakat sudah menjadi wartawan baru dengan tingkat efektivitas dan kecepatan sangat tinggi. Ketersediaan perangkat komunikasi canggih makin mempermudah masyarakat berperan sebagai wartawan dadakan. Masih ingat kasus peledakan bom di Kampung Melayu? Dengan sangat menyesal media konvensional seperti televisi, media cetak termasuk website kalah cepat dengan berita dari tangan-tangan yang bermodalkan ponsel.
Kedua, yang layak menjadi catatan, tanpa disadari berkembang pula etos kerja wartawan di tengah masyarakat yaitu keinginan menyampaikan berita paling cepat. Ada kegairahan tinggi untuk saling berupaya menyebarkan berita. Inipun –dari kasus Bom Kampung Melayu- terbukti mampu menyaingi kegairahan wartawan profesional.
Jika fenomena ini merebak dalam penyebaran informasi pengetahuan, nilai-nilai agama, cerita inspiratif, humor mungkin bisa memberi manfaat besar dengan sedikit resiko. Barangkali hanya para penceramah agama yang harus memutar otak lebih intens karena berbagai topik bahasan sudah lebih dahulu beredar di media sosial.
Namun menjadi masalah ketika kegairahan wartawan dadakan ini tidak dibarengi pemahaman etika pemberitaan. Menyebarkan penggalan kepala, kaki, tangan, darah berceceran yang di media konvensional semaksimal mungkin ditutupi, ditangan wartawan instan itu bisa beredar tanpa sedikitpun ada sensor. Pertimbangan dampak psikologi apalagi kode etik jurnalistik sama sekali terabaikan.
Yang juga menghawatirkan ketika konten informasi dirasuki kepentingan -sebut saja politik bernuansa konflik. Masyarakat hanya menelan begitu saja lalu menyebarkan dan terus menyebarkan hingga terjadi eskalasi dasyat mempengaruhi pikiran dan perilaku masyarakat. Termasuk di sini konten hoax, pembodohan, manipulasi berita, fitnah dan sejenisnya. Semua bisa begitu mudah menyebar karena kegairahan tanpa kontrol para wartawan dadakan itu.
Kasus Pilkada Jakarta bisa menjadi contoh dampak buruk pemberitaan juru berita instan baik di komunikasi terbatas maupun media sosial. Masyarakat negeri ini seakan terserabut dari akar budaya dan karakter aslinya. Ujaran kasar, permusuhan, fitnah, manipulasi begitu mudah tersebar dan celakanya sering begitu saja dipercaya lantas disebarkan lagi. Sebuah kekacauan informasi sudah pasti amat sangat mudah terjadi.
Lantas bisakah semangat menviralkan ini dibendung? Jelas hampir mustahil. Apa yang terjadi seperti arus budaya yang akan melabrak apapun. Apalagi ketika semangat itu menjadi kebanggaan: saya lho yang tahu duluan, saya yang pertama menyebarkan.
Barangkali yang lebih masuk akal bukan menghentikan tetapi bagaimana memberi semacam bingkai pemahaman. Yang terpenting di sini adalah menumbuhkan kesadaran klarifikasi, verifikasi atau ceck and riceck termasuk pula etika konten berita or informasi. Ini akan sedikit meredakan gairah luar biasa untuk menyebarkan berita sekaligus menumbuhkan pemahaman masalah konten informasi apakah benar atau bohong. Seperti disebut penulis David Kushner inilah penyakit sesungguhnya dan bukan pada persoalan kontennya yaitu kurangnya kesadaran mencari bukti, bertanya dan berpikir kritis yang perlu disembuhkan. Ini yang perlu ditanamkan untuk menghadapi fenomena “menviralkan.”
Berbahaya bila kegairahan memberitakan tanpa kesadaran klarifikasi, verifikasi.