Oleh: Said Abdullah
Mudik dan halal bi halal bisa jadi merupakan kosa kata paling sering disebut dalam kurun waktu belakangan ini. Khusus kata mudik sudah mulai disebut sejak awal pelaksanaan ibadah puasa. Wajar saja, kegiatan mudik yang biasanya terjadi menjelang pelaksanaan Idul Fitri tergolong aktivitas super massal di negeri ini.
Berdasarkan catatan Kementerian Perhubungan ada sekitar 19 juta masyarakat Indonesia yang mudik saat lebaran. Sebuah lembaga swasta Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) bahkan berani memperkirakan kegiatan mudik mencapai sekitar 33 juta orang.
Angka dua lembaga itu cukup menjelaskan tentang kedasyatan mudik. Bandingkan misalnya dengan kegiatan ibadah haji di Makkah al Mukarramah yang hanya berkisar 2,5 juta jamaah haji. Itupun datang dari berbagai penjuru dunia dengan negeri ini sebagai pengirim terbanyak para tamu Allah itu.
Dengan pergerakan manusia sebanyak itu bukan lagi wajar bahkan seharusnya persoalan mudik dan arus balik menjadi perhatian pemerintah sejak jauh hari sebelumnya. Berbagai persiapan dari pengaturan arus mudik dan balik, perbaikan infrastruktur jalan raya, kesediaan transportasi, pengamanan, penyediaan fasilitas kesehatan sampai persoalan ketersediaan BBM serta fasilitas kecil untuk urusan mandi dilakukan pihak-pihak terkait.
Belajar dari kejadian tahun lalu ketika mudik bermasalah menimbulkan kemacetan luar biasa di pintu tol Brexit, tahun ini para pihak tampaknya memperhitungkan dan mempersiapkan jauh lebih matang. Hasilnyapun terlihat sangat jelas ketika kemacetan arus mudik tahun ini sangat berkurang jauh dibanding tahun sebelumnya. Kesungguhan perhatian dan kerja pemerintah harus diakui tahun ini amat jauh lebih baik dari tahun sebelumnya. Tentu siapapun berharap aktivitas mudik dari tahun ke tahun makin baik sehingga masyarakat merasakan aman, nyaman, selamat dan penuh kebahagiaan saat bertemu sanak keluarga di kampung halaman.
Di luar pertimbangan pergerakan massal masyarakat Indonesia yang memerlukan perhatian serius pemerintah, kegiatan mudik dari aspek sosial serta kemanusiaan bagaimanapun memiliki nilai-nilai strategis. Apalagi ketika kegiatan mudik di negeri ini –yang di negara lain praktis relatif sepi- sudah menjadi budaya kental.
Aspek sosial mudik terlihat dari kasat mata memberikan stimulus penyebaran perputaran uang dari pusat-pusat kota ke pelosok desa. Efek riil lainnya akan memberikan pengaruh pada promosi berbagai potensi ekonomi daerah. Dengan perangkat sederhana bernama ponsel serta intensitas aktivitas para pemudik dalam media sosial berbagai potensi peningkatan pendapatan asli daerah seperti bidang pariwisata, kuliner, souvenir, produk-produk unggulan daerah lain dapat lebih dikembangkan. Mudik diam-diam sejatinya bisa menjadi stimulus ekonomi daerah melalui antara lain promosi dari para pemudik, yang pergerakannya sangat luar biasa.
Dengan potensi besar itu pemerintah daerah selayaknya aktif dan tidak sekedar menunggu bola. Berbagai strategi pengenalan produk daerah, potensi wisata, serta promosi gratis itu perlu dimanfaatkan optimal sehingga cost mudik yang dikeluarkan pemerintah pusat menghasilkan output produktif dalam bentuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerah.
Aspek lain dari kegiatan mudik yang sudah menjadi budaya diharapkan mampu menyegarkan nilai-nilai kemanusiaan masyarakat sehingga meningkatkan kematangan berpikir, mengedepankan rasionalitas serta terutama lebih menumbuhkan kepedulian serta empati pada sesama.
Kesegaran kemanusiaan yang merebak dari perjalanan mudik melalui berbagai kegiatan sungkeman kepada orang tua, silaturrahmi, reuni, termasuk kegiatan halal bi halal yang biasanya marak pasca lebaran diharapkan pula meningkatkan kualitas kemampuan masyarakat dalam memahami makna kehidupan. Bahwa manusia merupakan makhluk sosial dalam jalinan interaksi yang penuh warna, keaneka ragaman budaya, perbedaan keyakinan, pilihan politik dan varian-varian lainnya. Semuanya merupakan kenyataan kebhinnekaan fitrawi yang selayaknya mampu mewujudkan harmoni kehidupan dan bukan justru memunculkan riak-riak permusuhan.
Mudik pada akhirnya secara subtansi merupakan perjalanan “pulang” dalam konteks sosial untuk penyegaran kemanusiaan yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas masyarakat negeri ini untuk terwujudnya Indonesia hebat. (*)