Pasca pengesahan Undang-undang Pemilu di DPR ternyata masih terjadi perdebatan panjang. Sebelumnya sempat terjadi walk out dari beberapa fraksi saat pengambilan keputusan. Namun DPR akhirnya mengesahkan UU yang akan menjadi pedoman pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Presiden pada tahun 2019.
Sorotan dan perdebatan terutama terkait persyaratan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Fraksi-fraksi yang walk out menuntut Presidential Threshold (ambang batas) nol persen sementara yang disetujui mayoritas anggota DPR adalah 20 persen berdasarkan kursi di DPR atau 25 persen berdasarkan perolehan suara sah partai politik. Angka ini sama dengan ambang batas Pilpres tahun 2014.
Menarik jika mencermati kesamaan angka antara yang diputuskan di DPR dengan yang tercamtum dalam UU Pilpres yang dijadikan pedoman tahun 2014. Mengapa timbul penolakan dan bersikeras memaksakan nol persen padahal angka yang disetujui sekarang tak berbeda dengan ketentuan perundang-undangan sebelumnya. Termasuk di sini menyangkut semangat dari pematokan ambang batas yang sebenarnya sama yaitu memperkuat sistem pemerintahan serta agar proses Pilres berjalan relatif lebih proporsional.
Sebagaimana diketahui ambang batas 20 persen kursi DPR dan 25 suara sah didasarkan pertimbangan memperkuat pemerintahan. Dengan angka-angka itupun jika seorang calon Presiden terpilih jelas masih akan menimbulkan persoalan dalam pengambilan keputusan di DPR. Sekedar perbandingan, Presiden Jokowi, yang saat mencalonkan didukung sekitar 38 persen kumulatif beberapa partai politik masih harus mengumpulkan dukungan dari kekuatan lain agar berbagai usulan pemerintah segera mendapat dukungan DPR.
Sulit membayangkan bila seorang Presiden terpilih kurang mendapat dukungan dari mayoritas anggota DPR. Berbagai usulan pemerintah akan melalui proses panjang melelahkan sehingga mudah sekali mengganggu kinerja pemerintah.
Pertimbangan seperti itulah yang menjadi landasan usulan pemerintah yang didukung penuh partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Bahwa perlu ada upaya berkelanjutan untuk memperkuat pemerintahan tanpa mengurangi kekuatan pengawasan dari DPR. Nantinya siapapun terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden dapat bekerja optimal tanpa perlu terlalu lama dalam proses pengambilan keputusan di DPR.
PDIP dan partai yang tergabung dalam KIH berpikir kepentingan integral kestabilan dan efektivitas pemerintahan di masa mendatang dan bukan sekedar pertimbangan sempit seperti dituduhkan sementara kalangan. Ambang batas 20 persen dan atau 25 persen sepenuhnya demi kepentingan bersama agar pemerintah dapat menjalankan mandat rakyat dengan baik.
Tidak ada di dunia ini Presiden terpilih dapat menjalankan pemerintahan secara efektif bila memiliki dukungan minoritas apalagi sangat kecil di parlemen. Selalu Presiden terpilih memerlukan dukungan besar di DPR agar berbagai usulan segera dapat disetujui parlemen (DPR).
Tak perlu jauh-jauh melihat ke negara lain. Beberapa kepala daerah di negeri ini yang saat mencalonkan mendapat dukungan sebatas memenuhi persyaratan UU tetap harus merangkul partai lain ketika terpilih. Jadi sebelum menjalankan roda pemerintahan mau tak mau harus bekerja lebih dahulu melakukan pendekatan atau loby-loby agar lebih banyak mendapat dukung di DPRD.
Ini sekali lagi menegaskan betapa penting dukungan dengan angka relatif signifikan agar proses roda pemerintahan dari Presiden dan Wakil Presiden terpilih dapat bekerja efektif, optimal sehingga visi misi saat kampanye secepatnya dapat diwujudkan memenuhi harapan rakyat.