SUMENEP, koranmadura.com – Tudingan Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep (DPKS) bahwa Dinas Pendidikan (Disdik) tak “becus” dalam menerapkan sistem zonasi, khususnya jenjang sekolah dasar (SD), bukan omong kosong.
Temuan DPKS bahwa ada sekolah dasar di Kecamatan Kota yang menerima siswa melebihi pagu benar adanya, yaitu di SDN Pangarangan 1. Dari semestinya menerima dua pagu, ternyata sekolah tersebut menerima sampai tiga pagu. Satu pagu sebanyak 28 siswa.
Hal itu diakui Kepala Sekolah SDN Pangarangan 1, Sunari. Menurut dia, pada pendaftaran peserta didik baru (PPDB) tahun ini, pihaknya menerima sebanyak 84 orang atau tiga pagu. Padahal jatahnya hanya dua pagu.
Keputusan menerima sampai tiga pagu karena beberapa pertimbangan. Di antaranya pendaftar yang membeludak. “Secara tertulis kami sudah minta rekomendasi kepada Disdik melalui UPT,” katanya, Kamis, 20 Juli 2017.
Selain faktor pendaftar membludak, menurut dia, SDN Pangarangan 1 masih memiliki satu ruang kelas yang memungkinkan untuk ditempati siswa baru.
Namun konsekuensinya, berdasarkan hasil musyawarah antara pihak sekolah, komite dan wali siswa, tiap wali siswa baru ditarik uang, istilahnya sebagai partisipasi, sebesar Rp 200 ribu. Pembayarannya bisa diangsur.
Sunari mengklaim, pada saat musyawarah antara pihak sekolah, komite dan wali siswa, tidak ada yang menyatakan keberatan. “Waktu itu tidak ada yang keberatan,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Disdik Sumenep, A. Shadik, mengaku belum mendapat laporan terkait adanya sekolah yang menerima siswa melebihi pagu yang telah ditentukan. “Belum ada laporan,” ujarnya kemarin, Rabu, 19 Juli 2017.
Sementara yang berkaitan dengan adanya penarikan uang sebesar Rp 200 ribu, secara tegas Shadik mengatakan bahwa praktik itu tidak boleh. “Tidak boleh,” katanya diulang-ulang sampai lima kali.
Sekretaris DPKS, Mohammad Suhaidi meminta Disdik, dalam hal ini Kepala Disdik, bertanggung jawab atas amburadulnya penerapan sistem zonasi di Sumenep. “Hal seperti ini tidak boleh dibiarkan. Jika tidak, upaya pemerintah melakukan pemerataan pendidikan tidak akan pernah terjadi,” ujar dia. (FATHOL ALIF/MK)