Sebuah berita menarik muncul di berbagai situs internet. Isi berita menyebutkan Alumni 212 berdemo menutut dihentikannya kriminalisasi Hary Tanoe. Aksi disampaikan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia diawali berkumpul di Masjid Sunda Kelapa dengan koordinator aksi Ustad Hasri Harahap.
Sebelumnya Ketua Presidium Alumni 212 Ansufri Idrus sempat mengirim pesan whatsapp dan menyatakan aksi ditujukan untuk mengecam kriminalisasi kepada Hary Tanoe. Ini menegaskan bahwa aksi sepenuhnya memang diketahui dan dilakukan terkoordinir. (Detik.com, 14/7/2017)).
Aksi dari Alummni 212 memang sempat menjadi viral di media sosial. Maklum saja, apa yang terjadi menggambarkan kenyataan standar ganda perlakuan kepada Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dan Hary Tanoe. Padahal status sosial keduanya praktis hampir sama. Barangkali hanya soal profesi tugas berbeda. Yang satu saat itu Gubernur DKI Jakarta, sedang Hary Tanoe pengusaha, yang belakangan terjun ke dunia politik sebagai Ketua Umum Perindo.
Kata-kata kafir kepada Ahok serta berbagai slogan awas bahaya Aseng seperti tenggelam tak terdengar ditujukan kepada Ketua Perindo. Kepada Hary Tanoe sepenuhnya adalah pembelaan hingga sangat bertolak belakang dengan perlakuan kepada Ahok. Padahal justru Hary Tanoe yang keseharian dikenal sebagai pebisnis dan berhubungan sangat erat dengan Presiden AS Donald Trump yang penuh kontroversi.
Pada Hary Tanoe secara logika akal sehat seharusnya jika benar itu kebencian atas dasar perbedaan agama, etnis, terarahkan lebih kuat. Apalagi berbagai kontroversi kerja samanya dengan Donald Trump. Namun semuanya seperti tak terlihat oleh Alumni 212 yang begitu gencar menyerang Ahok dengan ujaran kebencian kafir dan bahaya Aseng.
Ini sudah pasti bukan persoalan agar Hary Tanoe diperlakukan sama dengan Ahok. Bagaimanapun dari awal sebenarnya tidak layak memperlakukan siapun berdasarkan cara pandang SARA. Sebab keterikatan keagamaan, etnis, suku, bukanlah sesuatu yang perlu dipertentangkan. Apalagi di negeri multi kultural Indonesia tercinta ini, yang hidup bermacam agama, beribu suku, etnis dan keaneka ragaman lainnya.
Dari dua kejadian terkait Ahok dan Hary Tanoe ini mudah terlihat betapa kental sebenarnya berbagai kepentingan dengan mengedepankan ujaran-ujaran kebencian berbau SARA. Terlihat sekali bahwa ujaran SARA terutama agama, benar-benar hanya menjadi alat kepentingan sesaat.
Betapa mudah kata-kata kafir dan bahaya Aseng dilontarkan kepada Ahok. Bandingkan sikap pembelaan Alumni 212 pada Hary Tanoe, yang dari segi agama, sama dengan Ahok: sama-sama beragama bukan Islam.
Di sinilah terlihat bahwa bukan perbedaan agama yang sebenarnya menjadi masalah. Yang sesungguhnya krusial dan harus diwaspadai adalah ketika agama dijadikan sebagai senjata kepentingan politik. Ketika perbedaan agama dijadikan ujaran kebencian demi kepentingan. Perbedaan agama dibenturkan hanya untuk memukul lawan yang berbeda kepentingan. Seakan tersembunyi simbol, “Tak masalah perbedaan agama, asal kepentingan sama. Sangat masalah bila agama dan kepentingan beda.”
Agama yang suci benar-benar hanya dijadikan alat kepentingan dan bukan untuk menebarkan kasih sayang. Agama diseret ke wilayah kepentingan lalu dirobah wajahn aslinya yang begitu suci menjadi berwajah penuh kebencian. Padahal Tuhan menurunkan agama demi kebaikan kemanusiaan dan bukan untuk menebarkan kebencian antar sesama manusia.
Di negeri yang multi kultural ini agama seharusnya benar-benar digali dan diterapkan subtansi mulianya. Jangan lagi ada manipulasi agama sehingga terpapar wajah kebencian agama. Yang perlu ditampilkan dan dikembangkan kemuliaan ajaran agama, agar negeri ini damai, aman sehingga rakyatnya sejahtera.