Jika ditelusuri, kasus sejenis First Travel bukanlah yang pertama di negeri. Untuk persoalan khusus Haji dan Umroh saja, hampir selalu setiap tahun terjadi. Belum lagi dalam bentuk sedikit berbeda seperti investasi bodong, arisan dan sejenisnya. Ironisnya, masih saja kejadian sejenis dengan pola sedikit berbeda selalu terjadi dengan kuantitas mencengangkan.
Kasus First Travel bisa jadi contoh aktual. Sekitar 35 ribu calon jemaah umroh harus mengalami nasib nelangsa karena hampir bisa dipastikan biaya umroh yang dibayarkan tak akan kembali. Paling tidak kalau toh kembali, tak akan utuh lagi.
Apa sebenarnya masalah yang terjadi dengan masyarakat negeri ini? Mengapa begitu mudah terjerat penipuan berkedok investasi, biaya haji dan umroh murah dan sejenisnya. Bahkan tak jarang, mereka yang tertipu itu kalangan tergolong berstatus sosial relatif tinggi. Jangan lupa data-data masyarakat elite itu baru sebagian terungkap. Bisa jadi masih banyak lagi yang jadi korban namun sengaja berdiam karena jaim alias jaga image. Masak tokoh, pejabat, tertipu investasi kadang oleh bekas pedagang bakso, seperti terjadi di Depok.
Pertama, yang terlihat sangat jelas sanksi terlalu ringan hingga tak memberi efek jera kepada pelaku tindak kriminal itu. Para calon pelaku kriminal ekonomi lainpun tergoda melakukan hal sama karena sanksi lemah dan masih memberikan keuntungan jika diperhitungkan hasil penipuan.
Kedua, ada semacam kehilangan kecermatan pada masyarakat. Bisa karena iming-iming keuntungan menggiurkan, mungkin juga karena nafsu memperoleh untung cepat atau ingin mencari yang murah pada sebagian masyarakat yang ingin beribadah Haji dan Umroh.
Yang ingin dapat keuntungan besar dan cepat kadang tidak memperhitungkan secara rasional. Akal sehat hilang tertutup bayangan mendapat untung besar dengan cara mudah. Kecermatan dan ketelitian, pertimbangan riil sebuah bisnis wajar menguap. Bayangkan, ketika bunga bank pertahun hanya menjanjikan sekitar 5 persen, tiba-tiba di depan mata ada yang menawarkan keuntungan 5 sampai 10 persen perbulan. Wow, sebuah bisnis dan pengembangan investasi sangat menggiurkan bukan?
Pikiran rasional lenyap. Apalagi bila pengelola investasi memberikan bukti riil walau hanya pada bulan-bulan awal. Keyakinan makin membuncah dan berbagai upaya menaikkan investasi dengan menjual barang-barang berhargapun dilakukan. Kadang menjadi kolektor uang mengumpulkan para keluarga terdekat, tetangga dan lainnya. Termasuk juga terjadi pada kasus First Travel, ketika diduga ada beberapa orang menjadi makelar mengumpulkan uang untuk dapat beribadah umroh murah.
Soal Haji dan Umroh dalam kasus First Travel tak berbeda jauh, juga membuat kehilangan akal sehat. Bayangkan, untuk umroh tarif normal yang paling rendah sekitar 20 jutaan, tiba-tiba ada yang menawarkan bisa memberangkatkan hanya dengan uang 14,5 juta. Yang terbayang hanya murah, berangkat umroh tanpa memperhitungkan apakah dengan uang sebanyak itu bisa sampai ke tanah suci. Tak terpikirkan harga tiket pesawat saja, pergi pulang paling murah membutuhkan biaya sekitar 10 juta. Lagi-lagi akal sehat tak berfungsi.
Yang menyedihkan, berbagai kenyataan tak berfungsinya akal sehat itu terjadi di era segala sesuatu begitu mudah dikroscek, diverikasi, diklarifikasi. Dengan teknologi informasi dan komunikasi seperti sekarang ini, bahkan hanya lewat ponsel di tangan gampang sekali mengecek apapun memanfaatkan kecanggihan dunia maya. Tapi itu tadi, akal sehat sudah menguap!
Emosi, nafsu, keserakahan, ketakpuasaan ditambah kemalasan melakukan verifikasi, croscek dan sejenisnya dan hanya meletakkan keuntungan besar, mudah, serta berharga murah sebagai pijakan utama bertindak, jadilah mereka sasaran empuk berbagai penipuan. Untuk First Travel diperkuat lagi semangat ingin ibadah ke tanah suci tanpa memahami bahwa umroh itu sunnah, tak usah memaksakan diri bila belum mampu. Demikian pula ibadah haji, yang hanya diwajibkan bila mampu, tak perlu memaksakan diri menempuh berbagai cara kurang wajar sehingga tertipu. Ikhtiar wajar sah saja, tapi jangan memaksakan diri. Lha, Allah saja, tidak memaksa ummat Islam berangkat haji apalagi umroh bila tidak mampu, kok ada yang merasa “dipaksa” karena semangat ibadah salah kaprah.
Mentalitas “kurang” menggunakan fungsi-fungsi akal sehat ini sebenarnya merata pada berbagai sektor. Tak aneh bila –bukan hanya penipuan terkait fulus- yang dialami masyarakat. Menjadi korban hoax bernuansa pembodohan berkedok agama, manipulasi berita, fitnah politik, mudah pula terjadi. Kadang karena dibungkus agama pula, masyarakat gampang sekali terpesona investasi bodong, travel sejenis First Travel, berita plintiran, pencitraan politik. Ya, malas melakukan verifikasi dan sejenisnya. Menyedihkan, memang.