Ini benar-benar soal buku. Lebih spesifik lagi mengenai buku pelajaran sekolah; dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas. Selalu bikin keresahan pada orang tua, terutama saat tahun ajaran baru. Semua terjadi karena ternyata buku pelajaranpun tak lepas pula dari mafia yang belakangan ini sangat gencar diperangi Presiden Jokowi.
Pemerintah sudah mencoba mengatasi antara dengan membeli hak cipta sehingga buku berharga relatif murah. Juga bisa dengan mudah dibuka di dunia maya, tanpa perlu keluar biaya. Selesai?
Ternyata belum. Masih saja persoalan buku ini menjadi kerikil setiap tahun ajaran baru. Bedanya sekarang bisnis buku tak lagi menggunakan instrumen sekolah langsung. Karena sekolah secara tegas dilarang menjual buku. Namun tetap saja berbagai trik muncul seperti himbauan untuk membeli di toko tertentu, yang diam-diam diarahkan sekolah.
Itu sekolah negeri. Sekolah swasta karena memang praktis tak tersentuh larangan menjual buku tetap saja “nyambi” dengan agak memaksa siswa membeli buku yang dijual sekolah. Setiap ajaran baru para siswa disodori daftar paket buku yang nilainya sungguh aduhai. Dan siswa diam-diam dipaksa membeli buku baru.
Soal membeli buku baru ini baik secara langsung maupun tak langsung, baik sekolah sendiri yang menjual atau diam-diam diarahkan pada toko tertentu terjadi pada hampir semua sekolah baik swasta maupun negeri.
Di mana mafianya? Pertama, siswa dipaksa membeli buku baru dengan harga yang sudah pasti sulit ditawar. Karena memang harus memiliki buku itu, mau tidak mau harus membeli berapapun harganya. Masih mending ada buku, kadang karena distribusi amburadul siswa harus muter sana muter sini mencari buku yang ditentukan sekolah. Lebih parah lagi stok habis sehingga siswa melongo di sekolah.
Kedua, aroma terlihat dari pergantian buku yang selalu terjadi setiap tahun. Jadi jangan berpikir buku kelas dua SMP misalnya, bisa dipakai pada tahun ajaran berikutnya. Tak bisa diwariskan ke adik atau saudara siswa yang baru naik kelas dua. Sebab itu tadi, di tahun baru buku untuk siswa kelas dua SMP yang baru naik, berbeda dengan buku tahun lalu.
Hebat sekali bukan? Ini berarti materi pengetahuan untuk bahan pelajaran anak Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, mengalami perubahan sangat cepat sehingga setiap tahun berobah. Jadi pelajar anak SD kelas dua tahun ini, tak bisa diwariskan ke anak SD kelas dua tahun mendatang karena buku sudah berobah dikesankan atas dasar tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan.
Luar biasa biasa -kalau begitu- dinamika perkembangan ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah dasar dan sekolah menengah. Begitu cepatnya sampai pelajaran tahun lalu, tak bisa dipakai tahun ini. Buku-buku tahun lalu tak bisa diwariskan untuk siswa-siswa kelas yang sama, di tahun ini.
Kalau bukan mafia buku apalagi? Ini praktek bisnis, yang jelas-jelas membuat cost pendidikan di negeri ini menjadi sangat mahal. Buku dikesankan berobah walau faktanya praktis kadang hanya covernya saja berbeda. Atau bisa jadi hanya satu dua halaman berbeda.
Apa iya pengetahuan begitu cepat berobah sehingga untuk pelajaran anak Sekolah Dasar dan Menengah begitu cepat buku segera diganti. Bandingkan dengan mahasiswa, yang materi pelajarannya lebih serius, kadang lima enam tahun baru berobah. Apalagi bila menyangkut ilmu sosial. Kalau ada perubahan kadang hanya penambahan referensi buku.
Sangat tidak rasional buku pelajaran tiap tahun pada kelas yang sama berbeda untuk anak Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Kalau bukan karena mafia perdagangan buku apalagi? Ironisnya sering praktek-praktek kotor ini diam-diam diamini oknum-oknum yang berada dalam dunia pendidikan. Benar-benar sebuah pembodohan, praktek manipulasi pendidikan yang memalukan, yang sampai saat masih terjadi pada hampir seluruh lembaga pendidikan di negeri.
Pendidikan benar-benar menjadi arena bisnis dengan praktek yang tak kalah kotor dari sektor-sektor lainnya. Menyedihkan, memang. Apalagi kebiasaan itu seakan sudah mendapat pembenaran dan jadi budaya. Oh…