SUMENEP, koranmadura.com – Berbagai kasus agraria yang mencuat belakangan ini seolah telah membuka mata semua orang soal pertanahan yang potensial membiakkan pertumpahan darah. Di samping berkah, tanah juga bisa menjadi sumber petaka.
Terbukti, ketika pemanfaatan tanah tak bisa terhindar dari laku kerakusan “tuan tanah”, maka berpotensi mendegradasi struktur alam dan merusak sosial. Bukankah sejarah telah mencatat bagaimana kerakusan manusia atas tanah telah memicu imperialisme-kolonialisme yang menghinakan martabat kemanusiaan.
Kesadaran itulah yang melatarbelakangi banyak warga berjuang mempertahankan tanahnya. Seperti yang dilakukan oleh warga Desa Lapa Taman Kecamatan Dungkek. Mereka berteriak secara lantang melawan laku kerakusan tuan tanah atau investor.
“Kami sadari mereka (para investor tanah, red.) melakukan segala cara untuk menjinakkan masyarakat agar menjual tanahnya. Tapi kami lebih tahu bahwa ketika manis di depan, biasanya diabetes kemudian,” ucap Kepala Desa Lapa Taman Aburaera saat Roadshow Agraria yang dilaksanakan oleh Serikat Pemuda Berdaulat (Serdadu), Sabtu Sore, 26 Agustus 2017.
Perlawanannya bersama warga terhadap investor bukan tanpa alasan. Kata Abu, warga berjuang bukan hanya hari ini, pada 80-an, warga juga sudah melawan. Karena warga sempat shock dan menelan pil pahit atas perlakuan kurang menyenangkan investor. “Saya ingat betul saat warga sini berjuang melawan investor, sampai berhadapan dengan polisi. Bahkan sempat masuk bui,” akunya.
Abu terus menceritakan panjang lebar terkait perlawanan warga. Katanya, dulu mengatasnamakan pejuang 45. “Pejuang 45 merupakan metamorfosa dari perjuangan 45 orang. Jadi, nama itu lahir dari 45 orang yang tak kenal lelah berjuang,” tegasnya.
Tentang kasus yang dikawal sekarang ini, kata Abu tidak jauh berbeda saat warga mampu mengusir investor. Bedanya, tak serumit dahulu kala. “Tambaknya masuk Desa Lombang, cuma bangunannya sampai ke Desa Lapa Taman. Selain itu, mereka tak mengurus IMB, akhirnya limbahnya dibuang sembarangan hingga merusak ekosistem laut, pun jaraknya melanggar aturan. Seharusnya kan 100 meter. Sementara kalau dulu mereka langsung mau menguasai kepemilikan tanah. Ironisnya, masyarakat harus bayar kalau mau bekerja ke mereka. Tentu sangat tidak adil, karena kita merasa terusir dari daerah sendiri. Dan kami tak mau terulang kembali,” tegasnya.
Warga Desa setempat, Munabi merupakan salah satu saksi hidup yang ikut berjuang melawan investor. “Saat itu saya baru nikah, saya juga ikut diciduk polisi karena dituduh dengan pasal anarkis dan merusak fasilitas, padahal kami hanya berjuang untuk martabat kami,” cerita pria yang saat ini jadi Sekdes itu.
Munabi semakin berapi-api menceritakan tentang perlawanan yang akhirnya berbuah manis. “Yang berjuang untuk kebenaran pasti menang,” ucapnya.
Kemenangan melawan investor kata Munabi tak lepas dari kegigihan dan semangat yang membaja. Tak ada sedikitpun mengeluh, apalagi mundur satu langkah. “Kami tidak tahu apa-apa, kami hanya tukang kuli. Modal kami gigih. Yang kami tahu, perjuangan kami benar,” tegasnya penuh emosi
Ketua Serdadu, Hosnan Nasir mencermati kasus tanah yang mencuat belakangan ini (terutama di daerah Timur Daya dan sekitarnya, red.) pada umumnya adalah masyarakat vis a vis perusahaan.
“Namun, jamak kita lihat, masyarakat lebih sering kalah dan menjadi korban di hadapan hukum, karena aparatur pemerintah cenderung berat sebelah. Tak pelak, akhir-akhir ini, pemerintah, utamanya Sumenep menjadi bahan cibiran dalam hal penjaminan dan perlindungan hak-hak kepemilikan tanah, baik individu maupun kelompok,” katanya dengan lantang.
Atas dasar itulah kata pria yang juga Ketua ISNU Dungkek ini, Serdadu hadir untuk ikut menemani rakyat berjuang atas laku kerakusan investor. “Kami tidak menolak mereka, tapi kami keberatan jika mereka terlalu hegemonik dan rakus atas tanah,” tambahnya.
Hosnan pun mengajungkan jempol atas perjuangan warga Desa Lapa Taman dalam melawan kerakusan investor. “Warga tidak akan sendiri, kami juga siap ada di depan. Karena kami juga tak main-main dalam melawan investor. Serdadu hadir untuk mengawal sampai tuntas,” janjinya
Adi Purnomo, dari Laskar Pemuda Desa mengaku, gerakan yang dilakukan oleh rakyat Desa Lapa Taman adalah contoh dari kesadaran tentang “ajaga tana, ajaga na’ poto”. Gerakan warga yang gigih melawan, kata mantan Ketua Umum PC PMII Sumenep ini perlu jadi contoh untuk desa-desa lain. “Karena mereka sadar bahwa tanah lebih berharga dari uang. Selain aset produktif yang berharga, tanah menahbiskan identitas masyarakat. Eksistensi marga, klan, etnis, bahkan bangsa tak bisa tidak mengacu pada batas teritorial tanah yang mengukuhkan kedaulatan sekaligus kejatidirian,” jelasnya
Ia mencontohkan Papua. Mereka mulai tersingkirkan hanya karena membiarkan investor memborong tanahnya. “Sumenep bisa darurat agraria, karena berdasarkan hasil investigasi yang kami lakukan, tanah yang terjual sudah 500 hektare lebih. “Harus waspada, bisa berbuah petaka, akibatnya warga hidup nelangsa,” pungkasnya.
Perjuangan dan pengawalan atas kedaulatan agraria sejatinya sudah dimulai beberapa bulan terakhir ini. Selain Batan yang berjuang, beberapa waktu Serdadu dengan mengundang semua pihak untuk sama-sama menjaga kedaulatan agraria. Diantaranya adalah Wabup Sumenep, Ketua Komisi 1 DPRD Sumenep, anggota DPRD Dapil V, NU, Batan, AMPD2, OKP, para Kepala Desa, Camat Se Timur Daya, dan OKP. Pada saat itu, selain penandatanganan pakta integritas di baner raksasa, juga menghasilkan beberapa rumusan sebagai tindak lanjut. (DIDIK/SOE)